https://terabox.com/s/1K25E3wH9eAMCvybbfSFsJw Kode ekstraksi:2726
Pembelajaran Sejarah SMA Swasta Imelda Medan
Friday, January 6, 2023
Saturday, November 5, 2022
Cara Memperbaiki Hardisk Bad Sector (Tidak Bisa di Instal)
Cara Memperbaiki Hardisk Bad Sector (Tidak Bisa di Install)
Pada artikel ini saya akan menjelaskan tentang cara memperbaiki hardisk bad sector (tidak bisa di install) . Ada beberapa penyebab laptop tidak bisa diinstal ulang antara lain: hardisk rusak/bad sector, tipe hardisk berbeda dengan bootable yang dibuat (untuk legacy biasa menggunakan tipe MBR sedangkan UEFI tipe hardisknya GPT), sampai pengaturan pada laptopnya sendiri.
Terkait dengan laptop tidak bisa instal ulang,, beberapa minggu yang lalu saya mengalami masalah terhadap laptop saya. Laptop saya hang not responding lama sekali dan tiba-tiba crash restart sendiri dan alhasil setelah restart laptop tidak bisa masuk ke windows. Setelah restart ada tulisan “your PC ran a problem and need to restart…” bla.. bla..
Saya pikir hanya masalah sepele, kemudian saya coba restart berulangkali hasilnya tetap sama saja. Saya sempat agak panik, heran kenapa laptop saya tiba-tiba not responding dan langsung rusak??
Akhirnya setelah putus asa Googling sana sini tidak dapat penyelesaian, terpaksa jalan terakhir instal ulang laptop. Pada saat install saya sempat heran lagi ketika masuk boot diklik install kenapa kok loadingnya lama sekali ? sekitar 10 menitan lebih loading, gak biasanya lama seperti ini. Begitu selesai loading saya install seperti biasa dan apa hasilnya??
Setelah menunggu lama sekali ternyata installnya tidak selesai dan ujungnya error juga bla..bla..( gak ingat apa tulisannya). Mulai dari sini saya sangat panik, kenapa laptop saya tidak bisa di install ulang? jangan-jangan hardisknya bermasalah?
Setelah googling lagi saya semakin yakin bahwa hardisknya yang error. Saya menduga hal ini terjadi mungkin karena sering mematikan laptop secara paksa. Akhirnya saya nyerah dan membawanya ke tukang service. Tapi hasilnya nihil saya justru disarankan untuk mengganti hardisk dan harganya 600rbuan. Ampuunn dehh..
Lalu apa yang saya lakukan??
Saya bawa pulang lagi laptopnya dan saya belikan kabel sambungan hardisk. Kemudian hardisk laptop saya keluarkan, setelah itu saya sambungkan dengan kabel sambungan hardisk supaya terbaca sebagai hardisk eksternal di laptop lain. pertamanya hardisk tidak terbaca tapi saya cabut dan colokkan ulang akhirnya terbaca.
Begitu selesai copy semua data laptop, hardisk saya format dengan aplikasi Hardisk low level format. Tetapi lagi-lagi setelah saya tunggu lama format hardisk gagal error di bagian akhir. Pernah juga saya format di Linux tapi ketika apply operation gagal.
Kemudian saya googling lagi dan akhirnya menemukan cara format hardisk yang bad sector melalui command prompt. Setelah saya lakukan alhamdulilah ternyata berhasil.
Langkah memperbaiki hardisk bad sector (laptop tidak bisa instal ulang windows)
- Pastikan semua data hardisk sudah di backup.
- Masuk ke bootable windows seperti pada saat melakukan install ulang laptop.
- Ketika sudah masuk ke boot, seperti gambar di bawah, tekan SHIFT+F10 untuk masuk ke system CMD (command prompt).
- Akan muncul kotak dialog CMD kemudian ketikkan diskpart tekan ENTER.
- list disk tekan ENTER.
- Akan tampak disk yang online seperti gambar di bawah. Kemudian ketikkan select disk 0 (Disk 0 adalah hardisk laptop, perhatikan ukurannya apakah sesuai/mendekati dengan ukuran hardisk laptop kamu).
Terakhir ketikkan clean dan ENTER. Tunggu sampai ada tulisan “diskpart succeded in cleaning the disk”. Apabila telah selesai close CMD dan windows setup nya sehingga laptop akan kembali restart.
SELANJUTNYA :
- Masuk booting instal ulang seperti biasa.
- Pada bagian hardisk (dimana akan meletakkan file instalation windows) masih menyatu dan terbaca Unallocatted. Ini terjadi karena kita belum membuat partisi baru setelah di hapus.
- Buatlah pasrtisi baru dengan pilih New. Buatlah Local Disk terlebih dahulu dan tentukan ukurannya (sebaiknya sekitar 70-100GB). Setelah itu terserah kamu ingin partisi lagi atau nanti setelah install baru ditambah partisinya. Saran sebaiknya partisi tidak lebih dari tiga.
- Setelah selesai partisi lanjutkan install windows seperti biasa.
Cara di atas saya coba dan berhasil. Sampai saat ini alhamdulilah hardisk laptop saya masih lancar seperti biasa. Sekian cara mudah memperbaiki laptop yang tidak bisa di install ulang akibat hardisk bad sector, semoga bermanfaat.
Thursday, September 29, 2022
Thursday, September 16, 2021
PRAHARA 1965 : DINAMIKA EKONOMI-POLITIK, POLA GERAKAN DAN PELAKU PERISTIWA
Prolog
Dua
Minggu kedepan, tepat 56 tahun yang lalu peristiwa Gerakan 30 September (dalam dokumen
pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering disingkat G30S/PKI),
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober)
adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September
sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu
usaha kudeta (yang hampir sekaligus).
Peristiwa
ini mewariskan “sejuta makna”–siapa sebenarnya yang dipersalahkan; kenapa
peristiwa ini harus terjadi. PKI–kah, Soekarno–kah, Dewan Jenderal–kah,
Agen-agen dunia keblinger–kah atau bahkan Soeharto–kah. Lantas–bagaimanakah
generasi sekarang ini yang kebanyakan tidak mengalaminya; memaknai–makna apakah
yang mereka ketengahkan–sekedar mengutuk ataukah hanya bagi mereka sebuah
lelucon sejarah–“datang ga di undang, pulang ga diantar”–yang dibiarkan berlalu
saja.
Interpertasi
“sejuta makna” inilah yang ingin penulis “coret” kan dalam kesempatan yang
berbahagia ini. Dini Hari menjelang subuh–terpotretlah sekumpulan orang sedang
melakukan gerakan mencari, menemukan, membawa, mengintrograsi lalu mengeksekusi
beberapa orang pesakitan. Siapa mereka, untuk apa dieksekusi dan mengapa
menjadi pesakitan pada saat itu? pertanyaan-eprtanyaan ini telah dijawab
melalui berbagai teori – baik dari orang-orang Indonesia sendiri maupun orang
luar negeri.
Kemudian–pertanyaan-pertanyaan
itu–sudah puaskah keingintahuan kita terjawab? kalau belum–mari kita tunggu
sampai bosan bahkan mungkin beberapa saat ke depan. Sejarah sangat tepat
dipakai dalam “menginterpertasikan” keingintahuan kita atas “sejuta makna”
peristiwa tersebut.
Sejarah
mempunyai jurus-jurus ampuh dalam memahami keingintahuan kita akan peristiwa
“sejuta makna” tersebut. Yang pertama–kita harus cari tahu dengan cara
mengumpulkan fakta-fakta yang ada–baik yang “ter” sembunyikan maupun yang ada;
kemudian kita tidak harus menerima kenyataan “yang” dinyata-nyatakan, setelah
itu baru kita “mungkin-mungkinkan” peristiwa ini “ber” makna ini atau itu.
Terahir, baru lah kita “bicarakan” mau diilmiahkan atau tidak. Itulah
jurus-jurus ampuh yang diketengahkan sejarah dalam menjawab “sejuta makna”
keingintahuan kita akan 56 tahun yang lalu peristiwa tersebut.
Menuju Demokrasi Terpimpin
Kehidupan
sosial politik Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950 hingga 1959) belum
pernah mencapai kestabilan secara nasional. Kabinet yang silih berganti membuat
program kerja kabinet tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Partai-partai politik saling bersaing dan saling menjatuhkan. Mereka lebih
mengutamakan kepentingan kelompok masingmasing. Di sisi lain, Dewan
Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil
menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia. Padahal
Presiden Soekarno menaruh harapan besar terhadap Pemilu 1955, karena bisa
dijadikan sarana untuk membangun demokrasi yang lebih baik. Hal ini seperti
yang diungkapkan Presiden Soekarno bahwa “era ‘demokrasi raba-raba’ telah
ditutup”. Namun pada kenyataanya, hal itu hanya sebuah angan dan harapan
Presiden Soekarno semata. Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno
berkeinginan untuk mengubur partai-partai politik yang ada, setidaknya
menyederhanakan partai-partai politik yang ada dan membentuk kabinet yang
berintikan 4 partai yang menang dalam Pemilihan Umum 1955. Untuk mewujudkan
keinginannya tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957, di hadapan para tokoh
politik dan krisis-krisis
kewibawaan pemerintah yang terlihat dari jatuh bangunnya kabinet. Dalam
konsepsinya Presiden Soekarno menghendaki dibentuknya kabinet berkaki empat
(koalisi) yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Selain itu Presiden Soekarno juga menghendaki dibentuknya Dewan Nasional yang
anggotanya terdiri dari golongan fungsional di dalam masyarakat.
Lebih
jauh Presiden Soekarno juga menekankan bahwa Demokrasi Liberal yang dipakai
saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat
bangsa Indonesia. Untuk itu ia ingin mengganti dengan suatu demokrasi yang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi
Terpimpin sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan yang ditawarkan Presiden
Soekarno pada Februari 1957. Demokrasi Terpimpin juga merupakan suatu gagasan
pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Gagasan
Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957. Pokok-pokok
pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut, Pertama, dalam pembaruan
struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung
oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang.
Kedua, pembentukan kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan
masyarakat yang terdiri atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan
politik baru yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau
golongan karya.
Upaya
untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum
dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Langkah pertama adalah pembentukan
Dewan Nasional pada 6 Mei 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno mencoba
mengganti sistem Demokrasi Parlementer yang membuat pemerintahan tidak stabil
dengan Demokrasi Terpimpin.
Melalui
panitia perumus Dewan Nasional, dibahas mengenai usulan kembali ke UUD 1945.
Usulan ini berawal dari KSAD Letnan Jenderal Nasution yang mengajukan usul
secara tertulis untuk kembali ke UUD 1945 sebagai landasan pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin. Usulan Nasution ini kurang didukung oleh wakil-wakil
partai di dalam Dewan Nasional yang cenderung mempertahankan UUD Sementara
1950. Situasi ini pada awalnya membuat Presiden Soekarno ragu untuk mengambil
keputusan, namun atas desakan Nasution, akhirnya Presiden Soekarno menyetujui
untuk kembali ke UUD 1945.
Langkah selanjutnya
yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah mengeluarkan suatu keputusan pada
tanggal 19 Februari 1959 tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka
kembali ke UUD 1945.
Keputusan
ini pun kemudian disampaikan Presiden Soekarno di hadapan anggota DPR pada
tanggal 2 Maret 1959. Karena yang berwenang menetapkan UUD adalah Dewan
Konstituante, Presiden juga menyampaikan amanat terkait kembali ke UUD 1945 di
hadapan anggota Dewan Konstituante pada tanggal 22 April 1959. Dalam amanatnya Presiden
Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada jiwa revolusi
dan mendengarkan amanat penderitaan rakyat. UUD 1945 akan menjadikan bangsa
Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian
meminta anggota Dewan Konstituante untuk menerima UUD 1945 apa adanya tanpa
perubahan dan menetapkannya sebagai UUD RI yang tetap.
Dewan
Konstituante kemudian mengadakan pemungutan suara untuk mengambil keputusan
terhadap usulan Presiden, namun setelah melakukan pemungutan sebanyak tiga kali
tidak mencapai kuorum untuk menetapkan kembali UUD 1945. Pada keesokan harinya,
tanggal 3 Juni 1959, Dewan Konstituante mengadakan reses yang akhirnya untuk
selamanya. Hal ini disebabkan beberapa fraksi dalam Dewan Konstituante tidak
akan menghadiri sidang lagi kecuali untuk pembubaran Dewan Konstituante.
Kondisi ini membuat situasi politik menjadi sangat genting, konflik politik
antarpartai semakin panas dan melibatkan masyarakat di dalamnya ditambah
munculnya beberapa pemberontakan di daerah yang mengancam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Untuk mencegah munculnya ekses-ekses politik sebagai akibat
ditolaknya usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 oleh Dewan Konstituante,
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu), A.H.
Nasution, atas nama pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik, yang
berlaku mulai tanggal 3 Juni 1959, pukul 06.00 Pagi. KSAD dan Ketua Umum PNI,
Suwiryo, menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk mengumumkan kembali
berlakunya UUD 1945 dengan suatu Dekret Presiden. Sekretaris Jenderal PKI pun,
D.N. Aidit memerintahkan anggota partainya yang duduk di Dewan Konstituante
untuk tidak menghadiri kembali sidang Dewan Konstituante.
Presiden
Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang menentukan
masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Pada
tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr. Sartono,
Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota Dewan
Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah Agung, Mr.
Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil. Setelah
melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil
keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga
menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekret Presiden.
Pada
hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang
berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan
Dekret yang memuat tiga hal pokok, yaitu:
1.
Menetapkan
pembubaran Konstituante;
2.
Menetapkan
UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekret dan tidak berlakunya lagi
UUD Sementara (UUDS);
3.
Pembentukan
MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan golongan,
serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekret
juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun
merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan
Dekret akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekret pun dibenarkan dan
diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekret juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI
dan PKI serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekret,
mengeluarkan perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan
dan mengamankan Dekret Presiden. Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam
sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi
menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui
Dekret Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden Soekarno
melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakukan melalui Staatsnoodrecht,
hukum negara dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini terpaksa diambil
karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang membahayakan persatuan dan
kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI. Sehari sesudah Dekret
Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandat kepada
Soekarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan.
Kemudian
pada 10 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinet baru yang disebut Kabinet
Kerja. Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku perdana menteri, dan Djuanda
menjadi menteri pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan dr.
Subandrio. Keanggotaan kabinet terdiri atas Sembilan menteri dan dua puluh
empat menteri muda. Kabinet tidak melibatkan para ketua partai besar, sehingga
kabinet bisa dikatakan sebagai kabinet non partai. Namun kabinet ini
mengikutsertakan para kepala staf angkatan, kepala kepolisian dan jaksa agung
sebagai menteri negara ex officio. Program kabinet yang dicanangkan meliputi
penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi
sandang pangan rakyat.
Pembentukan
kabinet kemudian diikuti pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
yang langsung diketuai oleh Presiden Soekarno, dengan Roeslan Abdulgani sebagai
wakil ketuanya. DPAS bertugas menjawab pertanyaan presiden dan berhak
mengajukan usul kepada pemerintah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden Nomor 3 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Anggota DPAS dilantik pada
tanggal 15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang, 12 orang wakil
golongan politik, 8 orang wakil/utusan daerah, 24 orang wakil golongan karya/fungsional
dan satu orang wakil ketua.
Pada
tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato peringatan kemerdekaan RI, Presiden
Soekarno menafsirkan pengertian demokrasi terpimpinnya. Dalam pidato tersebut,
Presiden Soekarno menguraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang isinya mencakup
revolusi, gotong royong, demokrasi, anti imperialisme-kapitalisme, anti
demokrasi liberal, dan perubahan secara total. Pidato tersebut diberi judul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. DPAS dalam sidangnya bulan November 1959
mengusulkan kepada pemerintah agar amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959
dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara. Presiden Soekarno kemudian menerima
usulan pidatonya sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dengan nama “Manifesto
Politik Republik Indonesia” disingkat Manipol.
Lembaga
berikutnya yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Penetapan Presiden No.
2/1959 tanggal 31 Desember 1959 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) dengan Chairul Saleh (tokoh Murba) sebagai ketuanya dan dibantu beberapa
orang wakil ketua. Anggota MPRS pemilihannya dilakukan melalui penunjukkan dan
pengangkatan oleh presiden, tidak melalui pemilihan umum sesuai dengan
ketentuan UUD 1945.
Sementara
itu, untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan Umum 1955 tetap
menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945 dengan syarat menyetujui segala
perombakan yang diajukan pemerintah sampai dibentuknya DPR baru berdasarkan
Penetapan Presiden No. 1/1959.
Pada
awalnya tampak anggota DPR lama seperti akan mengikuti apa saja yang akan
menjadi kebijakan Presiden Soekarno, hal ini terlihat ketika DPR secara
aklamasi dalam sidang 22 Juli 1959 menyetujui Dekret Presiden 5 Juli 1959. Akan
tetapi benih konflik sebenarnya sudah mulai muncul antara ketua DPR dan
Presiden. Sartono selaku ketua DPR menyarankan kepada Presiden Soekarno agar
meminta mandat kepada DPR untuk melakukan perombakan struktur kenegaraan sesuai
dengan UUD 1945 dan untuk melaksanakan program kabinet. Bahkan Sartono
meyakinkan Presiden bahwa mandat itu pasti akan diberikan, namun Presiden
Soekarno menolak, ia hanya akan datang ke DPR untuk menjelaskan perubahan
konstitusi dan lain-lain, bukan untuk meminta mandat. Hal ini berarti Presiden
tidak mau terikat dengan DPR.
Konflik
terbuka antara DPR dan Presiden akhirnya terjadi ketika DPR menolak Rencana
Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh Pemerintah. Penolakan
tersebut membawa dampak pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5
Maret 1960. Ia kemudian mendirikan DPR Gotong Royong (DPR-GR). Para anggota
DPR-GR ditunjuk Presiden tidak berdasarkan perimbangan kekuatan partai politik,
namun lebih berdasarkan perimbangan lima golongan, yaitu Nasionalis, Islam,
Komunis, Kristen- Katolik
dan golongan fungsional. Sehingga dalam DPR-GR terdiri atas dua kelompok besar
yaitu wakil-wakil partai dan golongan fungsional (karya) dengan perbandingan
130 wakil partai dan 153 wakil golongan fungsional.
Pelantikan
anggota DPR-GR dilaksanakan pada 25 Juni 1960 dengan tugas pokok melaksanakan
Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat dan melaksanakan Demokrasi
Terpimpin. Kedudukan DPR-GR adalah Pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan
memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu
yang telah ditetapkan oleh MPRS.
Pembubaran
DPR hasil pemilu pada awalnya memunculkan reaksi dari berbagai pihak, antara
lain dari pimpinan NU dan PNI. Tokoh NU yang pada awalnya keberatan atas
pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan mengancam akan menarik pencalonan
anggotanya untuk DPR-GR. Akan tetapi sikap ini berubah setelah jatah kursi
kursi NU dalam DPR-GR ditambah. Namun, K.H. Wahab Chasbullah, Rais Aam NU,
menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk bersama PKI dalam suatu kabinet dan NU
sesungguhnya menolak kabinet Nasakom dan menolak kerjasama dengan PKI.
Tokoh
dari kalangan PNI yang menolak kebijakan Presiden Soekarno datang dari dua
orang sahabat Soekarno, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Tjokroadisurjo. Sartono
merasa prihatin terhadap perkembangan yang ada dan Iskaq menyatakan bahwa
anggota PNI yang duduk dalam DPR-GR bukanlah wakil PNI. Hubungan mereka dengan
PNI sudah tidak ada lagi, sebab mereka yang duduk dalam DPR-GR adalah hasil
penunjukkan.
Sikap tokoh partai memang bervariasi, mereka yang menolak pembubaran DPR-GR menggabungkan diri dalam suatu kelompok yang menamakan dirinya Liga Demokrasi. Tokoh yang terlibat dalam Liga Demokrasi ini meliputi tokoh partai NU, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan PSII dan beberapa panglima daerah yang memberikan dukungan. Kelompok ini mengusulkan untuk penangguhan pembentukan DPR-GR. Namun Liga Demokrasi ini kemudian dibubarkan oleh Soekarno.
Tindakan
Presiden Soekarno lainnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah membentuk
lembaga negara baru yang disebut Front Nasional. Lembaga ini dibentuk
berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959. Dalam penetapan ini
disebutkan bahwa Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang
memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan citacita yang terkandung dalam UUD
1945. Front Nasional langsung diketuai oleh Presiden Soekarno.
Langkah
Presiden Soekarno lainnya adalah melakukan regrouping kabinet berdasarkan
Ketetapan Presiden No. 94 tahun 1962 tentang pengintegrasian lembaga-lembaga
tinggi dan tertinggi negara dengan eksekutif. MPRS, DPRGR, DPA, Mahkamah Agung
dan Dewan Perancang Nasional dipimpin langsung oleh Presiden. Pengintegrasian
lembaga-lembaga tersebut dengan eksekutif membuat pimpinan lembaga tersebut
diangkat menjadi menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu
dan juga ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintah pada lembaganya
masing-masing.
Selain
itu, Presiden juga membentuk suatu lembaga baru yang bernama Musyawarah
Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan Presiden No. 4/1962.
MPPR merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil
kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR
meliputi sejumlah menteri yang mewakili MPRS, DPR GR, Departemen-departemen,
angkatan dan para pemimpin partai politik Nasakom.
Penilaian
terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dilaksanakan oleh Presiden
Soekarno pertama kali muncul dari M. Hatta, melalui tulisannya dalam Majalah
Islam “Panji Masyarakat” pada tahun 1960 yang berjudul “Demokrasi Kita”. Hatta
mengungkapkan kritiknya kepada tindakan-tindakan Presiden, tugas-tugas DPR
sampai pada pengamatan adanya ‘krisis demokrasi’, yaitu sebagai demokrasi yang
tidak kenal batas kemerdekaan, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi
anarki lambat laun akan digantikan oleh diktator[1].
Peta Kekuatan Politik Nasional
Antara
tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden
Soekarno. Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan negara dengan TNI AD dan
PKI di sampingnya. TNI, yang sejak Kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian
pemberontakan PRRI dan Permesta pada tahun 1958, mulai memainkan peranan
penting dalam bidang politik.
Dihidupkannya
UUD 1945 merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya.
Menguatnya pengaruh TNI AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan pengaruh
TNI AD, terutama Nasution dengan dua taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat
dukungan partai-partai politik yang berpusat di Jawa terutama PKI dan merangkul
angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara.
Kekuatan
politik baru lainnya adalah PKI. PKI sebagai partai yang bangkit kembali pada
tahun 1952 dari puing-puing pemberontakan Madiun 1948. PKI kemudian muncul
menjadi kekuatan baru pada Pemilihan Umum 1955. Dengan menerima Penetapan
Presiden No. 7/1959, partai ini mendapat tempat dalam konstelasi politik baru.
Kemudian dengan menyokong gagasan Nasakom dari Presiden Soekarno, PKI dapat
memperkuat kedudukannya.
Sejak
saat itu PKI berusaha menyaingi TNI dengan memanfaatkan dukungan yang diberikan
oleh Soekarno untuk menekan pengaruh TNI AD. PKI berusaha untuk mendapatkan
citra yang positif di depan Presiden Soekarno. PKI menerapkan strategi
“menempel” pada Presiden Soekarno. Secara sistematis, PKI berusaha memperoleh
citra sebagai Pancasilais dan pendukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno
yang menguntungkannya. Hal ini seperti apa yang diungkapkan D.N. Aidit bahwa
melaksanakan Manipol secara konsekuen adalah sama halnya dengan melaksakan
program PKI. Hanya kaum Manipolis munafik dan kaum reaksionerlah yang berusaha
menghambat dan menyabot Manipol. Ungkapan Aidit ini merupakan suatu upaya untuk
memperoleh citra sebagai pendukung Soekarno.
PKI
mampu memanfaatkan ajaran Nasakom yang diciptakan Soekarno sebaik-sebaiknya,
karena lewat Nasakom inilah PKI mendapat tempat yang sah dalam konstelasi politik
Indonesia. Kedudukan PKI semakin kuat dan respektabilitasnya sebagai kekuatan
politik sangat meningkat. Bahkan ketika Presiden Soekarno akan membubarkan
partai melalui penetapan presiden, konsep awal disebutkan bahwa partai yang
akan dibubarkan adalah partai yang memberontak. Namun dalam keputusan final,
Presiden Soekarno meminta ditambahkan kata “sedang” di depan kata
“memberontak”, sehingga rumusannya berbunyi “sedang memberontak karena para
pemimpinnya turut dalam pemberontakan....”. Sesuai dengan rumusan itu maka
calon partai yang kuat untuk dibubarkan hanya Masyumi dan PSI. Sebaliknya, PKI
yang pernah memberontak pada tahun 1948 terhindar dari pembubaran. (Anhar
Gonggong, 2005).
PKI pun
melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat.
Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI, Aidit, Siapa setuju Nasakom
harus setuju Pancasila. Berbagai pidato Soekarno dikutip disesuaikan sedemikian
rupa sehingga seolah-olah sejalan dengan gagasan dan cita-cita PKI. PKI terus
meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberi citra kepada PKI
sebagai partai paling Manipolis dan pendukung Presiden Soekarno yang paling
setia.
Ketika
Presiden Soekarno gagal membentuk Kabinet Gotong Royong (Nasakom) pada tahun
1960 karena mendapat tentangan dari kalangan Islam dan TNI AD, PKI mendapat
kompensasi tersendiri dengan memperoleh kedudukan dalam MPRS, DPR-GR, DPA dan
Pengurus Besar Front Nasional serta dalam Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi
(MPPR). Kondisi ini mendorong pimpinan TNI AD berusaha untuk mengimbanginya
dengan mengajukan calon-calon lain sehingga menjadi pengontrol terhadap PKI
dalam komposisinya. Upaya ini tidak mencapai hasil yang optimal karena Presiden
Soekarno tetap memberikan porsi dan posisi kepada anggota PKI.
Ketika
TNI AD mensinyalir adanya upaya dari PKI melakukan tindakan pengacauan di Jawa
Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, pimpinan TNI
AD mengambil tindakan berdasarkan UU Keadaan Bahaya Pimpinan TNI AD melarang
terbitnya Harian Rakyat dan dikeluarkan perintah penangkapan Aidit dan
kawan-kawan, namun mereka berhasil lolos. Kegiatan-kegiatan PKI-PKI di daerah
juga dibekukan. Namun tindakan TNI AD ini tidak disetujui oleh Presiden
Soekarno dan memerintahkan segala keputusan dicabut kembali. Presiden Soekarno
melarang Peperda mengambil tindakan politis terhadap PKI.
Pada
akhir tahun 1964, PKI disudutkan dengan berita ditemukannya dokumen rahasia
milik PKI tentang Resume Program Kegiatan PKI Dewasa ini. Dokumen tersebut
menyebutkan bahwa PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan. Namun pimpinan PKI,
Aidit, menyangkal dengan berbagai cara dan menyebutnya sebagai dokumen palsu.
Peristiwa ini menjadi isu politik besar pada tahun 1964. Namun hal ini
diselesaikan Presiden Soekarno dengan mengumpulkan para pemimpin partai dan
membuat kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan di antara unsur-unsur di
dalam negeri diselesaikan secara musyawarah karena sedang menjalankan,
konfrontasi dengan Malaysia.
Kesepakatan
tokoh-tokoh partai politik ini dikenal sebagai Deklarasi Bogor. Namun PKI
melakukan tindakan sebaliknya dengan melakukan sikap ofensif dengan melakukan
serangan politik terhadap Partai Murba dengan tuduhan telah memecah belah
persatuan Nasakom, dan akan mengadakan kudeta serta akan membunuh ajaran dan
pribadi Presiden Soekarno. Upaya-upaya PKI ini membawa hasil dengan
ditangkapnya tokoh-tokoh Murba, diantaranya Soekarni dan Partai Murba dibekukan
oleh Presiden Soekarno.
Merasa
kedudukannya yang semakin kuat PKI berusaha untuk memperoleh kedudukan dalam
kabinet. Berbagai upaya dilakukan PKI mulai dari aksi coratcoret, pidato-pidato
dan petisi-petisi yang menyerukan pembentukan Kabinet Nasakom. Mereka juga
menuntut penggantian pembantu-pembantu Presiden yang tidak mampu merealisasikan
Tri Program Pemerintah, serta mendesak supaya segera dibentuk Kabinet
Gotong-Royong yang berporoskan Nasakom.
Terhadap
TNI AD pun, PKI melakukan berbagai upaya dalam rangka mematahkan pembinaan
teritorial yang sudah dilakukan oleh TNI AD. Seperti peristiwa Bandar Betsy
(Sumatera Utara) dan Peristiwa Jengkol. Upaya merongrong ini dilakukan melalui
radio, pers, dan poster yang menggambarkan setan desa yang harus dibunuh dan
dibasmi. Tujuan politik PKI di sini adalah menguasai desa untuk mengepung kota[2].
Pembebasan Irian Barat
Salah
satu isu politik luar negeri yang terus menjadi pekerjaan rumah kabinet RI
adalah masalah Irian Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI yang
diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Akan tetapi dalam perundingan KMB tahun
1950 masalah penyerahan Irian Barat ditangguhkan satu tahun dan berhasil
dicapai dalam suatu kompromi pasal di Piagam Penyerahan Kedaulatan yang
berbunyi : “Mengingat kebulatan hati
pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan asas supaya semua
perselisihan yang mungkin ternyata kelak atau timbul diselesaikan dengan jalan
patut dan rukun, maka status quo Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya
ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan
kepada Republik Indonesia Serikat masalah kedaulatan Irian akan diselesaikan
dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan
Nederland”. (Piagam Penyerahan Kedaulatan, dalam Notosoetardjo, Dokumen-dokumen
Konperensi Medja Bundar: Sebelum, Sesudah dan Pembubarannya, Pustaka Endang,
1956).
Upaya
yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui
konferensi uni yang dilakukan secara bergilir di Jakarta dan di Belanda. Namun
upaya penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan
pemerintah kita mengajukan permasalahan ini ke Sidang Majelis Umum PBB. Namun
upaya-upaya diplomasi yang dilakukan di forum PBB terus mengalami kegagalan.
Indonesia pun kemudian mengambil jalan diplomasi aktif dan efektif yang
puncaknya dilakukannya Konferensi Asia Afrika. Langkah ini cukup efektif dalam
menggalang kekuatan untuk menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat
internasional yang memaksa Belanda melunakkan sikapnya dan mau berunding
bilateral untuk menyelesaikan permasalahan Irian.
Karena
jalan damai yang telah ditempuh selama satu dasa warsa tidak berhasil
mengembalikan Irian Barat, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan
lain. Upaya ini telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1957, jalan lain yang
dilakukan adalah melancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat, dimulai
pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh kaum buruh.
Untuk mencegah anarki, KSAD, Nasution, mengambil alih semua perusahaan milik
Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.
Hubungan
Indonesia-Belanda semakin memuncak ketegangan pada 17 Agusus 1960, ketika
Indonesia akhirnya memutuskan hubungan diplomatic dengan pemerintah Kerajaan
Belanda[3]. Presiden Soekarno
dalam pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum PBB
menegaskan kembali sikapnya tentang upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan
RI. Dalam pidato yang berjudul Membangun Dunia Kembali, Soekarno menegaskan
bahwa : “Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami
telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh
toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan
perundingan-perundingan bilateral.... Harapan lenyap, kesabaran hilang; bahkan
toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak
memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” (Sketsa
Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Depkominfo, 2005).
Pidato
Presiden Soekarno itu, membawa dampak kepada dibuka kembalinya perdebatan Irian
Barat di PBB. Usulan yang muncul dari perdebatan itu adalah agar pihak Belanda
menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan ini
dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun.
Usulan
ini datang dari wakil Amerika Serika di PBB, Ellsworth Bunker. Usulan itu
secara prinsip disetujui oleh Pemerintah Indonesia namun dengan waktu yang
lebih singkat. Sedangkan pemerintah Belanda lebih menginginkan membentuk negara
Papua terlebih dahulu. Keinginan pemerintah Belanda ini disikapi Presiden
Soekarno dengan “Politik Konfrontasi disertai dengan uluran tangan. Palu godam
disertai dengan ajakan bersahabat”.
Setelah
upaya merebut kembali Irian Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik dan
ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI menempuh cara lainnya melalui jalur
konfrontasi militer. Dalam rangka persiapan kekuatan militer untuk merebut
kembali Irian Barat, pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada
awalnya usaha ini dilakukan kepada negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika
Serikat, namun tidak membawa hasil yang memuaskan. Kemudian upaya ini dialihkan
ke negaranegara Blok Timur (komunis), terutama ke Uni Soviet.
Belanda
mulai menyadari bahwa jika Irian Barat tidak diserahkan ke Indonesia secara
damai, maka Indonesia akan menempuh dengan kekuatan militer. Melihat perkembangan
persiapan militer Indonesia, Belanda mengajukan nota protes kepada PBB bahwa
Indonesia akan melakukan agresi. Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di
Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke
perairan Irian, di antaranya adalah kapal induk Karel Doorman.
Perebutan
kembali Irian Barat merupakan suatu tuntutan konstitusi, sesuai dengan
cita-cita kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, segala upaya
telah dilakukan dan didukung oleh semua kalangan baik kalangan politisi maupun
militer. Oleh karena itu, dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat,
Presiden Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, di depan rapat raksasa di
Yogyakarta, mengeluarkan suatu komando untuk berkonfrontasi secara militer
dengan Belanda yang disebut dengan Tri Komando Rakyat (Trikora). Isi dari
Trikora tersebut adalah :
1.
Gagalkan
pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda;
2.
Kibarkan
Sang Merah Putih di Irian Barat;
3.
Bersiaplah
untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa.
Dengan
dideklarasikannya Trikora mulailah konfrontasi total terhadap Belanda di Papua.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 1 tahun 1962 tertanggal 2 Januari 1962 tentang pembentukan Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat di bawah Komando Mayor Jenderal Soeharto.
Sebelum Komando Mandala menjalankan fungsinya, unsur militer Indonesia dari
kesatuan Motor Torpedo Boat (MTB), telah melakukan penyusupan ke Irian Barat.
Namun
upaya ini diketahui oleh Belanda sehinga terjadi pertempuran yang tidak
seimbang di Laut Aru antara kapal-kapal boat Indonesia dengan kapal-kapal
Belanda. Naas Kapal MTB Macan Tutul, berhasil ditembak Belanda sehingga kapal
terbakar dan tenggelam. Peristiwa ini memakan korban Komodor Yos Sudarso, Deputy
KSAL dan Kapten Wiratno yang gugur bersamaan dengan tenggelamnya MTB Macan
Tutul. Pemerintah Belanda pada mulanya menganggap enteng kekuatan militer di
bawah Komando Mandala. Belanda menganggap bahwa pasukan Indonesia tidak akan
mampu melakukan infiltrasi ke wilayah Irian. Namun ketika operasi infiltrasi
Indonesia berhasil merebut dan menduduki kota Teminabuan, Belanda terpaksa
bersedia kembali untuk duduk berunding guna menyelesaikan sengketa Irian.
Tindakan Indonesia membuat para pendukung Belanda di PBB menyadari bahwa
tuntutan pimpinan Indonesia bukan suatu yang main-main.
Di sisi
lain Pemerintah Amerika Serikat juga menekan pemerintah Belanda untuk kembali
berunding, agar Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak terseret dalam suatu
konfrontasi langsung di Pasifik Barat Daya. Amerika Serikat juga punya
kepentingan dengan kebijakan politik luar negerinya untuk membendung arus
komunis di wilayah ini. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 ditanda-tangani
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York,
hal ini dikenal sebagai Perjanjian New York.
Hal
pokok dari isi perjanjian itu adalah penyerahan pemerintahan di Irian dari
pihak Belanda ke PBB. Untuk kepentingan ini kemudian dibentuklah United Nation
Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang kemudian akan menyerahkan Irian
Barat ke pemerintah Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963. Berdasarkan
Perjanjian New York, pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk menyelenggarakan
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat sebelum akhir 1969 dengan
ketentuan kedua belah pihak harus menerima apapun hasil dari Pepera tersebut.
Tindak
lanjut berikutnya adalah pemulihan hubungan Indonesia Belanda yang dilakukan
pada tahun 1963 dengan membuka kembali kedutaan Belanda di Jakarta dan kedutaan
Indonesia di Den Haag. Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei
1963 secara resmi dilakukan penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari
UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jayapura.
Kembalinya Irian ke pangkuan RI berakhirlah perjuangan memperebutkan Irian
Barat.
Sebagai
tindak lanjut dari Perjanjian New York, Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas
untuk melaksankan Act Free Choice/Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Pemerintah Indonesia menjalankan dalam tiga tahap. Tiga tahapan ini sukses
dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan hasil dari Pepera kemudian dibawa oleh
Duta Besar Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan ke Sidang Umum Dewan
Keamanan PBB. Pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB ke-24 menerima
hasil Pepera yang telah dilakukan Indonesia karena sudah sesuai dengan isi
Perjanjian New York. Sejak saat itulah Indonesia secara de jure dan de facto
memperoleh kembali Irian Barat sebagai bagian dari NKRI.
Konfrontasi Terhadap Malaysia
Masalah
Malaysia merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk mendapatkan tempat dalam
kalangan pimpinan negara. Masalah ini berawal dari munculnya keinginan Tengku
Abdul Rahman dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik
Singapura untuk menyatukan kedua negara tersebut menjadi Federasi Malaysia.
Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan
Indonesia. Filipina menentang karena memiliki keinginan atas wilayah Sabah di
Kalimantan Utara. Filipina menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis
adalah milik Sultan Sulu.
Pemerintah
Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan
Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan
kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai
proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Oleh
karena itu, berdirinya negara federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah
Indonesia. Untuk meredakan ketegangan di antara tiga negara tersebut kemudian
diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) di Filipina
pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963. Hasil-hasil pertemuan puncak itu
memberikan kesan bahwa ketiga kepala pemerintahan berusaha mengadakan penyelesaian
secara damai dan sebaik-baiknya mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia
yang menjadi sumber sengketa. Konferensi Maphilindo menghasilkan tiga dokumen
penting, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama. Inti
pokok dari tiga dokumen tersebut adalah Indonesia dan Filipina menyambut baik
pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu.
Mengenai
pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta
Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan ini sehingga dapat
diketahui keinginan rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam
Federasi Malaysia. Kemudian ketiga kepala pemerintahan tersebut meminta Sekjen
PBB membetuk tim penyelidik.
Menindaklanjuti
permohonan ketiga pimpinan pemerintahan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB
membetuk tim penyelidik yang dipimpin oleh Lawrence Michelmore. Tim tersebut
memulai tugasnya di Malaysia pada tanggal 14 September 1963. Namun sebelum misi
PBB menyelesaikan tugasnya dan melaporkan hasil kerjanya, Federasi Malaysia
diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963. Oleh karena itu, pemerintah RI
menganggap proklamasi tersebut sebagai pelecehan atas martabat PBB dan
pelangggaran Komunike
Bersama Manila, yang secara jelas menyatakan bahwa penyelidikan kehendak rakyat
Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum Federasi Malaysia
diproklamasikan. Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan
oleh PM Tengku Abdul Rahman karena menganggap referendum tidak dijalankan
secara semestinya. Hal itu merupakan suatu perwujudan dari “act of bad faith”
dari Tengku Abdul Rahman. Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta
yang dibalas pula dengan aksi-aksi demontrasi besar terhadap kedutaan RI di
Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17 September 1963, hubungan diplomatik
Indonesia Malaysia diputuskan. Pemerintah RI pada tanggal 21 September
memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah.
Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan
rakyat Kalimantan Utara dalam melawan Neokolonilisme Inggris.
Konflik
di Asia Tenggara ini menarik perhatian beberapa negara dan menghendaki
penyelesaian pertikaian secara damai. Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan
Thailand berusaha melakukan mediasi menyelesaikan masalah ini. Namun masalah
pokok yang menyebabkan sengketa dan memburuknya hubungan ketiga negara tersebut
tetap tidak terpecahkan, karena PM Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman tidak
menghadiri forum pertemuan tiga negara.
Upaya
lainnya adalah melakukan pertemuan menteri-menteri luar negeri Indonesia,
Malaysia dan Filipina di Bangkok. Namun pertemuan Bangkok yang dilakukan sampai
dua kali tidak menghasilkan satu keputusan yang positif, sehingga diplomasi
mengalami kemacetan. Di tengah kemacetan diplomasi itu pada 3 Mei 1964 Presiden
Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) di hadapan apel besar
sukarelawan.
“Kami
perintahkan kepada dua puluh satu juta sukarelawan Indonesia yang telah
mencatatkan diri: perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantuan perjuangan
revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunai untuk
membubarkan negara boneka Malaysia”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012). Untuk
menjalankan konfrontasi Dwikora, Presiden Soekarno membentuk Komando Siaga
dengan Marsekal Madya Oemar Dani sebagai Panglimanya.
Walaupun
pemerintah Indonesia telah memutuskan melakukan konfrontasi secara total, namun
upaya penyelesaian diplomasi terus dilakukan. Presiden RI menghadiri pertemuan
puncak di Tokyo pada tanggal 20 Juni 1964.
Ditengah
berlangsungnya Konfrontasi Indonesia Malaysia, Malaysia dicalonkan menjadi
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kondisi ini mendorong pemerintah
Indonesia mengambil sikap menolak pencalonan Malaysia sebagai anggota tidak
tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap Indonesia ini langsung disampaikan Presiden
Soekarno pada pidatonya tanggal 31 Desember 1964. Presiden Seokarno menegaskan
bahwa : “Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang
tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi
anggota Dewan Keamanan, kita, Indonesia, akan keluar, kita akan meninggalkan
PBB sekarang”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012)
Dari pidato
tersebut terlihat bahwa keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena masuknya
Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ketika tanggal 7
Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Sokearno menyatakan “Indonesia keluar
dari PBB”.
Walaupun
Indonesia sudah keluar dari PBB, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh
pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia Malaysia dan perombakan PBB
tetap tidak tercapai. Karena dengan keluarnya Indonesia dari PBB, Indonesia
kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian
persengketaan dengan Malaysia secara damai[4].
Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin
Sejak
diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan ekonomi terpimpin,
sebagai awal berlakunya herordering ekonomi. Dimana alat-alat produksi dan
distribusi yang vital harus dimiliki dan dikuasai oleh negara atau minimal di
bawah pengawasan negara. Dengan demikian peranan pemerintah dalam kebijakan dan
kehidupan ekonomi nasional makin menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan
sistem komando. Sikap dan kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi
kebijakan ekonomi.
Masalah
pemilikan aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi politiknya ditempatkan
sebagai masalah strategis nasional. Kondisi ekonomi dan keuangan yang
ditinggalkan dari masa Demokrasi Liberal berusaha diperbaiki oleh Presiden
Soekarno. Beberapa langkah yang dilakukannya antara lain membentuk Dewan
Perancang Nasional (Depernas) dan melakukan sanering mata uang kertas yang
nilai nominalnya Rp500 dan Rp1.000,00 masing-masing nilainya diturunkan menjadi
10% saja.
Depernas
disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959 yang dipimpin oleh
Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang. Tugas dewan ini menyusun overall
planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural dan mental. Pada tanggal 17
Agustus 1959 Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi Depernas yang
tugas utamanya memberikan isi kepada proklamasi melalui grand strategy, yaitu
perencanaan overall dan hubungan pembangunan dengan Demokrasi Terpimpin dan
Ekonomi Terpimpin.
Depernas
kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan nasional yang
disebut sebagai Pola Pembangunan Semesta Berencana dengan mempertimbangkan
faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan.
Perencanaan
ini meliputi perencanaan segala segi pembangunan jasmaniah, rohaniah, teknik,
mental, etis dan spiritual berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang
tersimpul dalam alam adil dan makmur. Pola Pembangunan Semesta dan Berencana
terdiri atas Blueprint tripola, yang meliputi pola proyek pembangunan, pola
penjelasan pembangunan dan pola pembiayaan pembangunan.
Pola
Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dibuat untuk tahun
1961-1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede. Penasbede ini kemudian
disetujui oleh MPRS melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960 dan
diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961.
Depernas
pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri. Tugas
Bappenas ialah menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka pendek,
baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan,
dan menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.
Kebijakan
sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi.
Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar untuk
kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan
itu uang kertas pecahan Rp500,00 dan Rp1.000,00 yang ada dalam peredaran pada
saat berlakunya peraturan itu diturunkan nilainya menjadi Rp50,00 dan Rp100,00.
Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan pembekuan sebagian simpanan pada
bank-bank yang nilainya di atas Rp25.000,00 dengan tujuan untuk mengurangi
jumlah uang yang beredar. Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan
bahwa bagian uang lembaran Rp1.000,00 dan Rp500,00 yang masih berlaku harus
ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai Rp100,00 dan Rp50,00 sebelum
tanggal 1 Januari 1960.
Setelah
keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI/TII Jawa Barat dan pembebasan
Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan melakukan
rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang
dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan
Konsep Djuanda. Namun konsep ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan
yang tajam dari PKI karena dianggap bekerja sama dengan negara revisionis,
Amerika Serikat dan Yugoslavia.
Upaya
perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia 13.
Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para
pimpinan partai politik, anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR),
pimpinan DPR, DPA. Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut
Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka
pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.
Strategi
Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri atas beberapa tahap;Tahapan pertama,
harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional demokratis yang bersih
dari sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme. Tahapan ini merupakan persiapan
menuju tahapan kedua yaitu tahap ekonomi sosialis.
Beberapa
peraturannya merupakan upaya mewujudkan stabilitas ekonomi nasional dengan
menarik modal luar negeri serta merasionalkan ongkos produksi dan menghentikan
subsidi. Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik yang
memberi tafsir sendiri terhadap Dekon. PKI termasuk partai yang menolak
melaksanakan Dekon, padahal Aidit terlibat di dalam penyusunannya, selama yang
melaksanakannya bukan orang PKI. Empat belas peraturan pemerintah yang sudah
ditetapkan dihantam habis-habisan oleh PKI. Djuanda dituduh PKI telah menyerah
kepada kaum imperialis. Presiden Soekarno akhirnya menunda pelaksanaan
peraturan pemerintah tersebut pada bulan September 1963 dengan alasan sedang
berkonsentrasi pada konfrontasi dengan Malaysia.
Kondisi
ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya terus
meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. Salah satu
penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan
proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis dari pada ekonomi,
misalnya pembangunan Monumen Nasional (Monas), pertokoan Sarinah, dan kompleks
olahraga Senayan yang dipersiapkan untuk Asian Games IV dan Games Of the New
Emerging Forces (Ganefo).
Kondisi
perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha mendapatkan devisa
kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus dibayar kembali setelah satu
atau dua tahun. Menteri Bank Sentral Yusuf Muda Dalam memanfaatkan devisa
kredit ini sebagai deferedpayment khusus untuk menghimpun dan menggunakan dana
revolusi dengan cara melakukan pungutan terhadap perusahaan atau perseorangan
yang memperoleh fasilitas kredit antara Rp250 juta sampai Rp 1 milyar.
Perusahaan atau perseorangan itu harus membayar dengan valuta asing dalam
jumlah yang sudah ditetapkan.
Walaupun
cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk
menghimpun dana revolusi, karena dana ini digunakan untuk membiayai
proyek-proyek yang bersifat prestise politik atau mercusuar, dengan
mengorbankan ekonomi dalam negeri.
Dampak
dari kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan kenaikan barang mencapai
200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa
pecahan mata uang Rp1.000,00 (uang lama) diganti dengan Rp1,00 (uang baru).
Tindakan penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman
kenaikan harga bahan bakar yang mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat. Hal
inilah yang kemudian menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan
menyuarakan aksiaksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)[5].
Pola Gerakan
Gerakan
mempunyai pola umum yang dimulai dengan Pada tahun 1960 dikeluarkannya
Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi
Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria
yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri
dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10
kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada
namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara
para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA,
melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat
keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar
Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi
sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk
membersihkannya.
Kolaborasi
antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal mengatasi
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun,
foreign reserves menurun, inflasi terus menaik, serta korupsi birokrat dan
militer menjadi wabah; kemudian Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok,
Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung,
penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi
belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada
awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana
mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas
dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih
menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari
tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan
"kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN
Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di
bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari
"sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua
pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek
karya-karya mereka.
Keributan
antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya)
itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat,
Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di
beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih
setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI
mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Di akhir
1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan
polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh
propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak
peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI
meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis
menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Di tahun
1964 juga sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya
Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan
apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis
bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan
PKI melakukan tindakan tersebut. Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Soekarno
membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu
ketidakpastian di masyarakat.
Pada
permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer
tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk
kabinet karena jabatannya di militer oleh Soekarno disamakan dengan setingkat
mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad,
dan lain-lain).
Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Soekarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit
memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia
berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat
setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat
Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim Soekarno
mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak
lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di
dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk
melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah
berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam
batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer,
berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan
dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara[6].
Kronologi
peristiwa G30S PKI dimulai dengan kasus penculikan tujuh jenderal oleh
sekelompok pasukan. Tiga di dari tujuh jenderal yang di targetkan telah di
bunuh di rumah masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T Haryono, dan D. I Panjaitan.
Ketiga target lainnya, yakni Soeprapto, S. Parman, dan Sutoyo ditangkap dalam
keadaan hidup. Target utama lainnya, Abdul Harris Nasution, berhasil meloloskan
diri dari kejadian tersebut. Namun, sang putri, Ade Irma Suryani Nasution dan
ajudan A. H. Nasution, Pierre Tendean tewas tertembak oleh PKI. Korban-korban
tersebut kemudian dibuang ke sebuah lokasi di Pondok Gede yang dikenal dengan
Lubang Buaya. Korban tewas pun bertambah dalam kejadian ini, di antaranya
adalah Bripka Karel Sadsuit Tubun, Kolonel Katamso Darmokusumo, dan Letkol
Sugiyono Mangunwiyoto yaitu bertepatan pada Kamis, 30 September 1965 malam, PKI
melakukan gerakan untuk merebut kekuasaan. Aksi inilah yang kemudian dinamakan
Gerakan 30 September atau Gestapu yang dipimpin oleh Letkol. Untung Sutopo,
Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden
Soekarno.
Interpretasi
yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak
dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap
dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Dijelaskan Dake, pada 4
Agustus 1965 Soekarno pernah memanggil beberapa orang ke Istana, salah satunya
Untung. Untung cs itu diminta untuk menindak para jenderal yang dianggap tidak
loyal karena menolak pembentukan angkatan kelima. Untung, yang merupakan salah
satu perwira pengawal Presiden Soekarno, menjawab, "Jika bapak membiarkan
kita menindak para jenderal, saya akan melaksanakan perintah apa pun dari
pemimpin besar."Sebelum diterbitkan dalam Bahasa Indonesia, buku Dake
telah diterbitkan dalam Bahasa Belanda. Buku setebal 549 halaman ini
diterbitkan Aksara Karun.
Dake
melanjutkan penjelasannya, Presiden Soekarno telah mengetahui dua hari
sebelumnya bahwa 1 Oktober pukul 04.00 adalah hari kudeta. Soekarno telah
mengetahui jenderal TNI Angkatan Darat mana yang menjadi sasaran dan apa yang
akan terjadi terhadap mereka."Saya tidak menemukan bukti-bukti yang dapat
mengatakan bahwa Soeharto terlibat. CIA juga tidak terlibat. Cerita sebenarnya
jauh lebih sederhana dan kurang meriah setelah arsip Amerika dibuka setelah
sekian tahun," paparnya. Tuduhan kepada Soeharto sebagai dalang peristiwa
G30S PKI, menurut Dake, tidak beralasan. Alasannya, tindakan yang diambil
Soeharto adalah reaksi atas tragedi yang menimpa pada jenderal.
Sebuah
penafsiran sejarah atas peristiwa kudeta berdarah Gerakan 30 September PKI
kembali muncul. Menurut sebuah buku terbaru, peristiwa G30S PKI didalangi oleh
Presiden Soekarno. Mayjen Soeharto, saat itu menjabat Panglima Komando
Strategis Angkatan Darat, tidak terlibat. Pandangan ini muncul dari penulis
buku "Sukarno File, Kronologis Suatu Keruntuhan", Antonie C.A. Dake,
dalam peluncurkan bukunya di sebuah rumah makan di Wisma Kodel, Jl. HR Rasuna
Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (17/11/2005)."Mastermind dari
peristiwa tersebut adalah Soekarno," kata Dake tegas saat menjawab
pertanyaan salah seorang peserta diskusi dalam peluncuran bukunya. Acara
peluncuran buku ini dihadiri salah satu putri Bung Karno, Sukmawati
Soekarnoputri. Juga hadir mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, FachryAli, Budiman
Sudjatmiko, serta beberapa peneliti dari Sugeng Sarjadi Syndicate sebagai penyelenggara
acara.[7]
Karena
PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain
berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi
sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada
30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta
sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup
lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa
besar” esok harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan
Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober
1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.
Pada 1
Oktober 1965, operasi penumpasan G30S PKI pun dilakukan. Operasi ini dipimpin
oleh Panglima Kostrad dengan menghimpun pasukan lainnya, seperti Divisi
Siliwangi, Kaveleri, dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah
pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Tidak adanya dukungan dari masyarakat dan
angkatan bersenjata membuat tokoh pendukung G30S PKI, termasuk ketua PKI D.N,
Aidit melarikan diri. Dengan operasi penumpasan tersebut, para pemimpin dan
tokoh PKI berhasil ditangkap dan dihukum dengan ditembak mati. Operasi ini juga
berhasil melumpuhkan kekuatan PKI. Sementara itu, jenazah ketujuh jenderal
ditemukan pada 3 Oktober 1965 dan pengangkatan jenazah dilakukan keesokan
harinya. Pada 5 Oktober 1965, seluruh korban dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
Pelaku peristiwa
Sejumlah
pertemuan sebelum 1 Oktober 1965 yang dihadiri oleh mereka yang oleh pimpinan
PKI dinamai Perwira Progresif terdiri dari Kolonel Inf Latief, Letkol Inf
Untung, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi, dihadiri
sejumlah orang sipil yakni Syam, Pono dan Bono dari Biro Chusus (BC) PKI.
Dengan kehadiran pimpinan BC PKI, apakah ini berarti konsep G30S berasal dari
mereka? Bagaimana sebenarnya hubungan orang-orang militer ini dengan BC? Apa
sekedar karena sama-sama alat revolusi sesuai dengan ajaran Bung Karno (BK) dan
pendukung BK? Atau suatu komplotan? Hubungan ini diungkapkan dalam buku putih
Orba sebagai komplotan PKI. Jika G30S merupakan komplotan PKI, apa sebab massa
PKI yang amat besar, yang berjuta-juta itu sama sekali tidak dikerahkan atau
dipersiapkan, bahkan mereka tidak tahu-menahu, termasuk banyak pimpinan PKI
yang tersebar di seluruh Indonesia tidak tahu dengan tepat? Msih banyak
pertanyaan lain yang jawabnya tidak begitu jelas dan tidak memuaskan yang selalu
menimbulkan pertanyaan baru.
Dalam
salah satu pertemuan (ke 5 pada 17 September 1965) anak buah Latief, Mayor Inf
Agus Sigit, Dan Yon 203, mendebat arahan Syam tentang rencana operasi
penangkapan para jenderal yang dipandangnya tidak profesional. Usulan dia
tentang penutupan jalan masuk ke Jakarta dari arah Bogor, Tangerang dan Bekasi
pada saat gerakan, ditolak sebagai kekiri-kirian. Ia menyampaikan pertanyaan
tajam, apa sebab Presiden tidak memerintahkan segera menangkap Dewan Djenderal
(DD, ejaan lama)? Apa tidak mampu? Apa sebab orang-orang dalam pertemuan itu
yang harus menangkapnya? Karena Mayor Inf Agus Sigit, anak buah Kolonel Inf
Latief, tidak setuju dengan sejumlah masalah penting yang dibicarakan dalam
rapat 17 September 1965, ia tidak lagi mengikuti pertemuan-pertemuan
berikutnya, bahkan kemudian pada 1 Oktober 1965 pasukannya tidak muncul.
Masalah-masalah penting yang dikemukakan dan dipertanyakan Agus Sigit rupanya
tidak mendapatkan perhatian semestinya dari yang lain. Kemudian terbukti hal-hal
itu menjadi sebagian kelemahan mendasar gerakan.
Menurut
teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara
memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi
yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasarnya adalah serangkaian
kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasar
lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang
dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar
Selatan, Grobogan, dan KlatenTeori yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho
Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar
mengenai kudeta tanggal 30 September 1965.
Dasar
lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang
dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar
Selatan, Grobogan, dan Klaten Soekarno adalah Dalang Gerakan 30 September.
Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak
dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap
dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan
Soekarno, partai inipun terseret.
Dasar
teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot
asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi.
Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya
untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata
“sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu
bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya. Namun teori ini dilemahkan
antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung
G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia
mengutuk gerakan ini.
Menurut
teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara
memperalat unsur-unsur tentara. Namun terlepas dari teori mana yang benar
mengenai peristiwa G30S, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi
dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang
menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi
kekuatan penengah di antara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan
terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu: AD dengan PKI.
Juli
1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap cabinet dan tentara.
Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga persoalan ini
sementara selesai. Hal ini kemudian malah membuat hubungan Soekarno dengan PKI
kian dekat (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010).
Bulan
Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan partai
pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin giat melakukan mobilisasi
massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak anggota. Partai-partai lain
seperti NU dan PNI hingga saat itu praktis telah dilumpuhkan (Feith, 1998).
Di
tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam
kabinet. Mungkin PKI merasa kedudukannya sudah cukup kuat. Pada tahun-tahun
sebelumnya partai ini umumnya hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah
khususnya para menteri yang memiliki pandangan politik berbeda dengan mereka.
Di
bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti-PKI memproklamasikan
Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi
oleh suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) yang pro PKI segera mengecam keras. Soekarno ternyata
menyepakati kecaman itu.
Tidak
sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah. Sedangkan di daerah,
persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik lagi karena
bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan
akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria
(landreform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang
disebut sebagai kampanye aksi sepihak. Aksi ini merupakan upaya mengambil alih
tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi
hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri
dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis
birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa. “Setan Desa” menurut versi
PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik tanah
(Tornquist, 2011).
Adegan-adegan
protes pun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya menurunkan
lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa. Dalam aksi pengambilalihan
tanah --terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga Bali, Jawa Barat dan
Sumatera Utara-- massa PKI-pun terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan,
tentu saja, para tuan tanah, juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasal
dari kalangan tentara. Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari
kalangan muslim yang taat dan pendukung PNI. Kondisi ini pada akhirnya
menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur, segera saja berhadapan muka dengan
para santri NU.
Di
kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Ini misalnya tergambar dalam
cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo, yang akan pergi ke suatu
resepsi. Ia, yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul besar dan sepatu hak
tinggi, digiring oleh ratusan tukang becakdi tengah terik matahari ke kantor
polisi untuk menyelesaikan pertikaian harga becak. Adegan serupa pernah juga
terjadi di berbagai kota. Ada pula para kepala desa yang sudah tua disidangkan
di depan pengadilan rakyat (Ong Hok Ham,1999).
Selama
tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak semakin lama semakin kuat.
Kekerasan jadinya semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tindak balasan anti PKI
dipelopori oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor.
Hubungan
Angkatan Darat dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanas. Sindiran dan
kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI terhadap AD. Pada bulan-bulan awal
tahun 1965 PKI “menyerang” para pejabat anti PKI dengan menuduhnya sebagai
kapitalis birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan untuk
menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka hingga pertengahan
tahun 1965 atau sebelum pecah kudeta di awal Oktober, kekuatan politik di
ibukota tampaknya sudah semakin bergeser ke kiri. PKI kian berada di atas angin
dengan perjuangan partai yang semakin intensif.
Komunis
yang pro-RRC (Republik Rakyat Cina yang komunis) di Indonesia (Southwood dan
Flanagan, 2013). Usulan ini akhirnya memang gagal direalisasikan. PKI lalu
meniupkan isu tentang adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah
mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen
Gilchrist”
yang ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan
sebagai isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our
local army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk melakukan
kudeta. Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan dan Jenderal Ahmad Yani
kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini saat Presiden Soekarno
bertanya kepadanya, namun pertentangan PKI dengan Angkatan Darat kini tampaknya
telah mencapai level yang akut. Pada bulan Mei 1965, Pelda. Sujono yang
berusaha menghentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok
orang dari BTI dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani
segera menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili.
Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan, dan
Katolik. Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf
Pondok Modern Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik
Abdullah, ed., 2012: 139). Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat
marah kalangan Islam. Apalagi empat bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa
Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau peserta mental Training Pelajar
Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh tanpa melepas alas kaki
yang penuh lumpur lalu melecehkan Al Quran.
Suasana
pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah
sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi pada bulan
Juli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang
didatangkan DN Aidit untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI
tersebut kemungkinan akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI
tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak. Dipimpin
Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak
melaksanakan “Gerakan 30 September” dengan menculik dan membunuh para jenderal
dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu
dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah :
Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman,
Mayor JenderalSoeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI
Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Letnan Satu Pierre
Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari
upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban.
Di
Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan
terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu: Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel
Sugiono. Pada berita RRI pagi harinya, Letkol. Untung lalu menyatakan
pembentukan “Dewan Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat.
Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat
(Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu
belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih
setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera
dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di
daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa
Gerakan September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan
dan pendukung PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila
tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI.
G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai
Komunis Indonesia.
Berbagai
macam persiapan (misalnya gerakan dipimpin Letkol Untung yang baru lima bulan
berada di pasukan Cakrabirawa/Jakarta, pasukan yang mengambil bagian dalam
gerakan tidak jelas atau terlalu sedikit tidak seperti yang dilaporkan,
logistik tidak memadai, atau bahkan tidak ada), dokumen-dokumen G30S saling
bertentangaqn satu sama lain, tidak menyebut kedudukan BK. Dekrit No.1
menyebutkan, “Dengan jatuhnya segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi
Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner”; dalam
Keputusan No.2 disebut, “Berhubung segenap kekuasaan dalam Negara RI pada 30
September 1965 diambilalih oleh Gerakan 30 September…” lalu ada penurunan
pangkat. Selanjutnya pasukan G30S membunuh tiga orang jenderal di tempat,
membunuh sisanya di Pondokgede/Lubang Buaya, bertentangan dengan pemahaman perintah
Letkol Untung.
Sebelum
1 Oktober Latief setidaknya menemui Jenderal Soeharto dua kali. Siapa yang
menugaskan dirinya? Syam bersaksi ia yang berada di tempat agak jauh di tempat
yang sama. Latief sebagai Dan Brigif I Kodam Jaya membawahi tiga batalion tetapi
yang ikut bergerak bersamanya cuma dua peleton Detasemen Kompi Markas. Nama
Latief tidak tercantum dalam daftar Komando Gerakan, tetapi “hanya” sebagai
anggota Dewan Revolusi, sedang dari segi pangkat dia nomor dua setelah Brigjen
Suparjo. Dapat ditambahkan bahwa Brigjen Suparjo tidak pernah ikut rapat-rapat
persiapan, mungkin sekali ia hanya menerima informasi bahwa segala sesuatunya
beres, sebagaimana tercantum dalam “dokumen Suparjo.”
Pendapat
yang menyatakan bahwa Soeharto adalah dalang Gerakan 30 September antara lain
dikemukakan oleh Brian May dalam bukunya, “Indonesian Tragedy”. Menurut Brian
May terdapat kedekatan hubungan antara Letkol. Untung sebagai pemimpin Gerakan
30 September 1965 dengan Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima
Kostrad. CIA dan moyangnya telah malang melintang di Indonesia sejak permulaan
kemerdekaan, salah satu puncaknya di masa pemberontakan PRRI dan Permesta.
Dalam bulan Desember 1964, seorang Duta Besar Pakistan di Eropa menulis laporan
kepada Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Bhutto antara lain berisi percakapannya
dengan seorang perwira intelijen Nato. Sejumlah dinas intelijen Barat sedang
menyusun suatu skenario akan terjadinya suatu kudeta militer yang terlalu dini
yang dirancang untuk gagal. Dengan itu akan terbuka kesempatan legal yang
ditunggu-tunggu bagi AD untuk menghancurkan kaum komunis dan menjadikan Soekarno
sebagai tawanan AD. Demikian diungkapkan oleh penelitian Neville Maxwell. Dalam
memorandum rahasia Washington 23 Februari 1965 dibicarakan tentang dukungan
terhadap elemen anti-komunis menghadapi PKI dan politik Soekarno dengan
selebaran dan siaran radio gelap, kalau perlu menggunakan ajaran Soekarno.
Dalam telegram rahasia Dubes Jones 24 Mei 1965 dibicarakan tentang rancangan
kudeta yang terpaksa diundur. Dubes AS ini menyebutkan tentang adanya “hubungan
pribadi dengan salah satu pemimpin kelompok kudeta yang mewakili elemen sipil
dan militer penting.” Setelah kudeta [di radio] oleh G30S pada 1 Oktober 1965,
Dubes Marshall Green yang menggantikan Jones menyatakan dengan “bijaksana,”……
“bahwa sikap yang paling bijaksana [pihak AS] ialah mengakui kup itu
benar-benar mengagetkan kami [AS]….. “Pendeknya pemerintah AS dan CIA yang
sudah tahu jauh-jauh hari serta ikut merancangnya itu pura-pura kaget dan tidak
tahu apa yang harus diperbuat….. Tipuan sederhana inilah yang dipercaya
sebagian sejarawan dan pengulas sejarah G30S meski sudah dibuat jelas oleh
mantan Dubes AS Marshall Green sebagai tipuan. Kudeta di radio itu kemudian
segera diikuti oleh kudeta sebenarnya Jenderal Soeharto.
Teori
lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini AS
sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang
tengah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian
bekerjasama dengan suatu kelompok dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar
melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir
skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno.
Setelah
kegagalan G30S dan PKI mendapat hantaman palu godam Jenderal Soeharto cs,
selapisan pimpinan PKI [di antaranya Sudisman yang mengaku terlibat] mengadakan
kritik otokritik pada 1965/1966 [yang terkenal dengan sebutan KOK]. Sudisman
menghubungkan kegagalan G30S tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di
bidang ideologi, politik dan organisasi sejak 1950-an. Tak pelak para
penyusunnya ikut ambil bagian dan bertanggungjawab terhadap kesalahan tersebut,
hal ini didasarkan pada kenyataan tidak adanya oposisi mendasar yang berarti
sebelum tragedi 1965 terhadap pimpinan kolektif PKI.
In this
short paper on a huge and vexed subject, I discuss the US involvement in the
bloody overthrow of Indonesia's President Soekarno, 1965-67. The whole story of
that ill-understood period would transcend even the fullest possible written
analysis. Much of what happened can never be documented; and of the
documentation that survives, much is both controversial and unverifiable. The
slaughter of Soekarno's left-wing allies was a product of widespread paranoia
as well as of conspiratorial policy, and represents a tragedy beyond the
intentions of any single group or coalition. Nor is it suggested that in 1965
the only provocations and violence came from the right-wing Indonesian
military, their contacts in the United States, or (also important, but barely
touched on here) their mutual contacts in British, German and Japanese
intelligence. And yet, after all this has been said, the complex and ambiguous
story of the Indonesian bloodbath is also in essence simpler and easier to
believe than the public version inspired by President Soeharto and US
government sources. Their problematic claim is that in the so-called Gestapu
(Gerakan September Tigahpuluh) coup attempt of September 30, 1965 (when six senior
army generals were murdered), the left attacked the right, leading to a
restoration of power, and punitive purge of the left, by the center. This
article argues instead that, by inducing, or at a minimum helping to induce,
the Gestapu "coup," the right in the Indonesian Army eliminated its
rivals at the army's center, thus paving the way to a long-planned elimination
of the civilian left, and eventually to the establishment of a military
dictatorship. Gestapu, in other words, was only the first phase of a
three-phase right-wing coup -- one which had been both publicly encouraged and
secretly assisted by US spokesmen and officials. Before turning to US
involvement in what the CIA itself has called "one of the worst mass
murders of the twentieth century," let us recall what actually led up to
it. According to the Australian scholar Harold Crouch, by 1965 the Indonesian
Army General Staff was split into two camps. At the center were the general
staff officers appointed with, and loyal to, the army commander General Yani,
who in turn was reluctant to challenge President Soekarno's policy of national
unity in alliance with the Indonesian Communist party, or PKI. The second
group, including the right-wing generals Nasution and Soeharto, comprised those
opposed to Yani and his Soekarnoist policies. All of these generals were
anti-PKI, but by 1965 the divisive issue was Soekarno The simple (yet untold)
story of Soekarno's overthrow is that in the fall of 1965 Yani and his inner
circle of generals were murdered, paving the way for a seizure of power by
right-wing anti-Yani forces allied to Soeharto. The key to this was the
so-called Gestapu coup attempt which, in the name of supporting Soekarno, in
fact targeted very precisely the leading members of the army's most loyal
faction, the Yani group. An army unity meeting in January 1965, between
"Yani's inner circle" and those (including Soeharto) who "had
grievances of one sort or another against Yani," lined up the victims of
September 30 against those who came to power after their murder. Not one anti-Soekarno
general was targeted by Gestapu, with the obvious exception of General
Nasution. But by 1961 the CIA operatives had become disillusioned with Nasution
as a reliable asset, because of his "consistent record of yielding to Soekarno
on several major counts." Relations between Soeharto and Nasution were
also cool, since Nasution, after investigating Soeharto on corruption charges
in 1959, had transferred him from his command. The duplicitous distortions of
reality, first by Lt. Colonel Untung's statements for Gestapu, and then by Soeharto
in "putting down" Gestapu, are mutually supporting lies. Untung, on
October 1, announced ambiguously that Soekarno was under Gestapu's
"protection" (he was not); also, that a CIA-backed Council of
Generals had planned a coup for before October 5, and had for this purpose
brought "troops from East, Central, and West Java" to Jakarta. Troops
from these areas had indeed been brought to Jakarta for an Armed Forces Day
parade on October 5th. Untung did not mention, however, that "he himself
had been involved in the planning for the Armed Forces Day parade and in
selecting the units to participate in it;" nor that these units (which
included his own former battalion, the 454th) supplied most of the allies for
his new battalion's Gestapu activities in Jakarta.
Soeharto's
first two broadcasts reaffirmed the army's constant loyalty to "Bung Karno
the Great Leader," and also blamed the deaths of six generals on PKI youth
and women, plus "elements of the Air Force" -- on no other evidence
than the site of the well where the corpses were found. At this time he knew
very well that the killings had in fact been carried out by the very army
elements Untung referred to, elements under Soeharto's own command.Thus,
whatever the motivation of individuals such as Untung in the Gestapu putsch,
Gestapu as such was duplicitous. Jadi, apapun motivasi individu seperti Untung
dalam pemberontakan Gestapu, Gestapu seperti itu ganda. Both its rhetoric and
above all its actions were not simply inept; they were carefully designed to
prepare for Soeharto's equally duplicitous response. For example, Gestapu's
decision to guard all sides of the downtown Merdeka Square in Jakarta, except
that on which Soeharto's KOSTRAD [Army Strategic Reserve Command] headquarters
were situated, is consistent with Gestapu's decision to target the only army
generals who might have challenged Soeharto's assumption of power. Again,
Gestapu's announced transfer of power to a totally fictitious "Revolutionary
Council," from which Soekarno had been excluded, allowed Soeharto in turn
to masquerade as Soekarno's defender while in fact preventing him from resuming
control. More importantly, Gestapu's gratuitous murder of the generals near the
air force base where PKI youth had been trained allowed Soeharto, in a
Goebbels-like manoeuvre, to transfer the blame for the killings from the troops
under his own command (whom he knew had carried out the kidnappings) to air
force and PKI personnel who where ignorant of them. From the pro-Soeharto
sources -- notably the CIA study of Gestapu published in 1968 -- we learn how
few troops were involved in the alleged Gestapu rebellion, and, more
importantly, that in Jakarta as in Central Java the same battalions that
supplied the "rebellious" companies were also used to "put the
rebellion down. ." Two thirds of one paratroop brigade (which Soeharto had
inspected the previous day) plus one company and one platoon constituted the
whole of Gestapu forces in Jakarta; all but one of these units were commanded
by present or former Diponegoro Division officers close to Soeharto; and the
last was under an officer who obeyed Soeharto's close political ally, Basuki
Rachmat. Two of these companies, from the 454th and 530 th battalions, were
elite raiders, and from 1962 these units had been among the main Indonesian
recipients of US assistance. This fact, which in itself proves nothing,
increases our curiosity about the many Gestapu leaders who had been US-trained[8]
Jika Soeharto
bukan dari bagian komplotan, maka Latief yang telah menemuinya sampai dua kali
dan menyampaikan tentang gerakan yang sedang diikutinya merupakan pembocoran
rahasia gerakan sebagai yang dituduhkan sementara orang. bahkan ada juga yang
menuduhnya ia berkhianat terhadap gerakan, padahal kepergiannya setahu Letkol
Untung dan Brigjen Suparjo. Latief mempuyai hubungan dekat dengan bekas
atasannya, tentunya sedikit banyak ia tahu tentang pandangan politik Soeharto.
Apalagi justru Jenderal Soeharto yang memanggil dan menginspeksi pasukan Yon
530 Brawijaya dan Yon 434 Diponegoro yang dianggap terlibat G30S. Setidaknya
menurut Syam pasukan itu mendukung gerakan meskipun kita tidak dapat melihat di
mana letak dukungannya itu, kecuali sebagian pasukan Yon 434 Diponegoro yang
hendak mengundurkan diri ke PAU Halim dan yang ditolak oleh pihak AU, lalu
berada di pinggiran Halim. Mereka ini yang terlibat kontak senjata dengan
pasukan RPKAD.
Pada
pagi setelah jam 08.30 1 Oktober 1965 Letkol Pnb Heru Atmodjo sesuai dengan tugasnya
mengantarkan Brigjen Suparjo yang baru saja bertemu Men/Pangau Omar Dani ke
rumah Sersan Anis Suyatno di kompleks perumahan bintara di Halim. Di sana Heru
Atmodjo melihat kembali beberapa orang yang pagi itu diperkenalkan kepadanya di
gedung Penas, Kolonel Latief, Letkol Untung dan dua orang sipil bersama Mayor
Suyono. Di belakang hari diketahuinya kedua orang sipil itu bernama Syam
Kamaruzaman dan Pono. Sebagai seorang tentara yang memiliki pengalaman memimpin
operasi militer, ia tidak melihat adanya sekelompok pimpinan yang sedang
memimpin operasi. Apalagi operasi yang dilakukan [seperti dikatakan oleh Mayor
Udara Suyono] setingkat divisi, tentunya ada staf pemikir dan pembantu bagi
komandan atau panglima pasukan. Karena ia melihat sendiri gerakan itu dari
dekat, maka “gerakan ini seperti dirancang sedemikian rupa untuk menemui
kegagalannya” Demikian tulis Heru Atmodjo. G30S tidak mempunyai rencana
alternatif, tetapi hanya ada satu rencana, itu merupakan permulaan kegagalan
dari kacamata militer maupun politik seperti ditulis Jenderal Nasution.
Pada
sore hari 1 Oktober 1965 dari Halim Presiden Soekarno mengeluarkan perintah
dihentikannya tembak-menembak di antara seluruh pasukan serta ajakan menunggu
penyelesaian politik oleh Presiden. Perintah tersebut oleh pasukan RPKAD tidak
boleh disiarkan lewat RRI Jakarta. Ini merupakan permulaan pemberangusan
terhadap Presiden Soekarno yang dilakukan oleh kekuasaan Jenderal Soeharto.
Sejak jam 19.00 1 Oktober 1965 RRI terus-menerus menyiarkan pernyataan Jenderal
Soeharto. Kini bukan saja pasukan Soeharto menguasai lapangan, tetapi juga
bidang komunikasi. Sabotase ini berlanjut sampai dijatuhkannya Presiden Soekarno.
Sebagai
diulas oleh Letkol Pnb Heru Atmodjo, jika G30S itu suatu gerakan militer yang
serius, seharusnya dipimpin seorang jenderal seperti Brigjen Suparjo yang
secara intelektual maupun pengalaman lapangan memadai. Tetapi justru dia tidak
pernah dilibatkan dalam rapat persiapan. Dalam buku Jenderal Nasution (1988),
apa yang biasa disebut “dokumen Suparjo,” suatu dokumen yang dipercaya sebagai
ditulis oleh Brigjen Suparjo setelah gagalnya G30S, telah diulas secara
singkat, antara lain sbb: (1) Tidak ada diskusi maupun rancangan Syam dan kawan-kawan
menghadapi kegagalan gerakan, semuanya beres, pasti menang; (2) Setelah gagal,
mereka bingung, tidak ada perintah jelas, pimpinan operasi tidak menarik
kesimpulan apa pun; (3) Pasukan tidak mendapat makanan, bahkan ada yang minta
ke Kostrad. Pasukan meninggalkan RRI tanpa ada instruksi; (4) Rapat memutuskan
menghentikan gerakan, masing-masing bubar, pulang, sambil menunggu situasi.
Perang
dingin yang di Indonesia berpuncak pada tragedi 1965 tidak dapat dilepaskan
dari peranan barisan dinas intelijen dalam dan luar negeri dengan operasi
intelijennya yang saling bekerjasama, menusuk, menjegal, menipu, menyesatkan
dan memerangi. Jika BC PKI setidaknya sebagian tugasnya menyerupai dinas
intelijen, mereka ini jauh lebih asor dibandingkan dengan yang dimiliki AD
misalnya. Syam Kamaruzaman biasanya disebut sebagai agen ganda, dari
kesaksiannya di Mahmillub kita ketahui dengan cekatan ia sepenuhnya mengabdi
pada militer di bawah Jenderal Soeharto. Seorang spion AD bernama Sriharto
Harjomiguno yang sudah bertahun-tahun berada di tubuh PKI, dalam jangka
tertentu menjadi pengawal DN Aidit selama di Jawa Tengah sesudah 2 Oktober 1965
tanpa bisa diendus. Belum lagi kita bicara tentang kecanggihan CIA atau dan
KGB.
Teori
yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak
dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap
dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan
Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari
kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat
banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30
September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta
sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup
lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa
besar” esok harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan
Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober
1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.
Apa pun
yang terjadi, dari berbagai kelemahan dan kesalahan mendasar G30S yang
merugikan dan bahkan menyabot diri sendiri, maka hanya ada satu kesimpulan
bahwa G30S memang dirancang untuk gagal sebagai tangga panjatan sang dalang
sebenarnya.
Pesawat
kepresidenan Jetstar yang membawa Presiden Soekarno dan 80 anggota rombongan,
termasuk Ketua CC (Committee Central) PKI Dipo Nusantara (D.N.) Aidit,
meninggalkan tanah air menuju Aljazair guna menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA)
II. Pesawat transit di Kairo, Mesir, 26 Juni 1965.
Mendadak
ada kabar bahwa Presiden Aljazair Ben Bella dikudeta. KAA pun ditunda hingga 5
November 1965. Bung Karno kemudian memutuskan pulang ke tanah air. Sedangkan
rombongan kecil yang dipimpin Aidit melawat ke Peking (Beijing), China. Salah
satu di antara mereka adalah Nyono.
Setibanya
di tanah air, penyakit ginjal Bung Karno kambuh lagi. Tim dokter China yang
merawat Bung Karno sejak 1960 mendiagnosis bahwa kali ini penyakitnya makin
gawat. Bahkan, tim dokter China itu memperkirakan, sewaktu-waktu jika penyakit
Bung Karno kambuh lagi nyawanya tak tertolong. Keadaan ini makin mematangkan
rencana PKI mengambil alih kekuasaan dari tangan Bung Karno. Yakni, dengan
menyingkirkan rival utamanya lebih dahulu: para jenderal TNI AD.
Gawatnya
kesehatan Bung Karno itu terlihat dari perintah pemanggilan mendadak Aidit dan
Nyono oleh sang pemimpin besar revolusi itu lewat Menlu Soebandrio. Keduanya
diminta segera pulang ke tanah air. Lewat kawat, Aidit menjawab akan pulang
pada 3 Agustus 1965.
Pada 4
Agustus 1965, kesehatan Bung Karno terus memburuk. Dia tiba-tiba muntah-muntah
sebanyak 11 kali, ditambah hilang kesadaran empat kali. Dokter kepresidenan, Dr
Mahar Mardjono, pun mendadak dipanggil ke kamar Bung Karno di Istana Negara.
Saat itu sudah ada tim dokter China.
Belakangan,
diduga keras ternyata diagnosis dokter China tadi berkaitan erat dengan rencana
PKI mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Rencana ini muncul setelah Aidit
bertemu Mao Tze Tung (Mao Zedong) di China. Sebab, posisi Bung Karno sebagai
presiden sekaligus panglima tertinggi Angkatan Bersenjata sangat menentukan
arah politik Indonesia.
Kalau
sampai Bung Karno mangkat, sudah bisa ditebak akan terjadi perebutan kekuasaan
antara PKI dan TNI-AD. Saling mendahului dan saling jegal antara kekuatan saat
itu sangat mewarnai politik Indonesia 1965. "Ternyata diagnosis tim dokter
China terbukti keliru. Sebab, Bung Karno baru meninggal tujuh tahun
kemudian," ungkap Ketua LIPI Taufik Abdulah dalam bedah buku di Yayasan
Obor yang menerbitkan buku karya Miroslav kemarin.
Dugaan
lain yang menguatkan bahwa PKI akan mengambil alih kekuasaan di Indonesia
terekam dalam pembicaraan Ketua Partai Komunis China Mao Tze Tung dan Ketua CC
PKI DP Aidit yang menemuinya Zhongnanghai, sebuah perkampungan dalam
dinding-dinding kota terlarang di China.
"Kamu
harus mengambil tindakan cepat," kata Mao kepada Aidit. "Saya
khawatir AD akan menjadi penghalang," keluh Aidit ragu-ragu. "Baiklah,
lakukan apa yang saya nasihatkan kepadamu; habisi semua jenderal dan perwira
reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat akan menjadi seekor naga yang
tidak berkepala dan akan mengikutimu," ungkap Mao berapi-api. "Itu
berarti membunuh beratus-ratus perwira," tanya Aidit lagi. "Di Shensi
Utara, saya membunuh lebih dari 20 ribu orang kader dalam sekali pukul
saja," tukas Mao.
Setelah
menemui Mao, Aidit disertai dua dokter China, Dr Wang Hsing Te dan Dr Tan Min
Hsuen (salah satu di antaranya diyakini Miroslav sebagai perwira intelijen
China) terbang ke Jakarta guna mendeteksi kesehatan Bung Karno. Pada 7 Agustus
1965, mereka menghadap Bung Karno di Istana Merdeka.
Esoknya,
8 Agustus 1965, Aidit kembali menemui Bung Karno di Istana Bogor untuk
berbicara empat mata. Menurut Miroslav, saat bertemu secara pribadi dengan Bung
Karno itulah, Aidit melaporkan hasil pembicaraannya dengan Mao Tze Tung.
Misalnya, advis untuk menyingkirkan jenderal AD yang tidak loyal kepada
presiden (baca dewan jenderal sebutan PKI bagi jenderal AD).
PKI
sadar benar tidak mudah menyingkirkan para jenderal AD tanpa payung kekuasaan
Soekarno. Kedua, membentuk Kabinet Gotong Royong dengan PKI sebagai pemegang
kendali (dengan memasukkan para kadernya). Ketiga, setelah semua misi itu
sukses, diam-diam PKI menyiapkan strategi untuk menyingkirkan Bung Karno secara
halus. Caranya, China menawari Bung Karno untuk istirahat panjang di sebuah
vila dekat Danau Angsa, China, guna mengobati penyakitnya.
"Itu
sebenarnya cara licik Aidit dan Mao untuk menyingkirkan Bung Karno dari kekuasaannya
setelah melapangkan jalan PKI mengambil alih kekuasaan," ungkap Miroslav. Cara
itu pernah diterapkan Mao kepada Raja Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk.
Setelah China berhasil mengomuniskan Kamboja lewat Pol Pot. Giliran Jenderal
Lon Nol mengudeta Sihanouk saat berkunjung ke Moskow. Saat Kremlin (baca Uni
Sovyet) menolak memberikan suaka kepada Sihanouk, China dengan senang hati
menawarkan tempat tinggal dan perawatan yang wah bagi Sihanouk. "Istrinya,
Princess Monica, sangat menikmati pemberian China tadi," tambah Miroslav.
Berdasar
hasil rekonstruksi kejadian yang dibuat Miroslav, Bung Karno tampaknya sejalan
dengan rencana Mao. Terbukti, lanjut Miroslav, Bung Karno memanggil Brigjen
Subur, Komandan Resimen Tjakrabhirawa, dan Letkol Untung ke kamar tidurnya
untuk bertanya pada mereka.
"Apakah
dia (Untung) cukup berani menangkap para jenderal yang tidak loyal kepada
presiden dan menentang kebijakannya?" tanya Bung Karno. "Saya akan
melakukan kalau diperintahkan," jawab Untung saat itu.
Ketua
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Taufik Abdullah mengatakan, kevalidan
sejarah seperti itu memang perlu diuji. Tapi, boleh jadi dugaan keras Miroslav
tersebut ada benarnya.
Taufik
membuat tamsil, ada sepasang pengantin masuk rumah. Saat keluar wajahnya terlihat
lusuh. Orang bisa menduga, pasangan pengantin itu baru melaksanakan
kewajibannya sebagai suami istri. Tapi, tidak ada yang tahu persis. "Bisa
juga wajah yang tampak loyo itu disebabkan mereka habis membersihkan
rumah," ujar Taufik.
"Miroslav
pantas menduga kuat bahwa pembicaraan Aidit dan Bung Karno di kamar tidurnya
adalah soal isi pertemuan Aidit dengan Mao," tambah Taufik. Mao Tze Tung,
lanjut Miroslav, semula ingin menggandeng Bung Karno untuk menancapkan
kekuasaan PKI di Indonesia. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya, Bung Karno
dinilai bukan sosok pemimpin yang cocok. Dia dianggap terlalu sembrono dan
pembawaannya meledak-ledak. Tapi, Mao tetap membutuhkan Bung Karno untuk
mengantarkan PKI berkuasa di Indonesia.
Soal
pembawaan yang meledak-ledak tersebut pernah dilaporkan Menlu China Marsekal
Chen Yi saat menemui Bung Karno, 3 Desember 1964. Ketika itu, Bung Karno
menuntut China agar membagi teknologi nuklirnya dengan Indonesia. Bung Karno
juga mendesak uji nuklir dilakukan di wilayah Indonesia. Tujuannya, memberi
dampak psikologis kepada kawan dan lawan Indonesia. Tapi, Chen Yi menolak
karena itu terlalu berbahaya. Bung Karno kontan naik pitam. "Sambil
menggebrak meja, Bung Karno berdiri menudingkan telunjuknya ke arah Chen
Yi," ungkap Miroslav.
Akibat
keragu-raguan Mao Tze Tung tersebut, akhirnya China menunda pengiriman 100 ribu
pucuk senjata untuk angkatan kelima (baca buruh dan tani) seperti dijanjikan
sebelumnya. Sebagai gantinya, Mao hanya mengirimkan 30 ribu pucuk senjata lewat
beberapa kapal guna menghadapi jenderal AD yang reaksioner. Tapi, itu tidak
gratis. Sebagai imbalannya, Mao minta presiden melapangkan jalan PKI menguasai
Indonesia. "Soal perjanjian rahasia itu terungkap dalam surat Aidit 10
November 1965 yang dikirim ke Bung Karno," terang Miroslav.
Jaringan
intelijen yang dibangun PKI terus mengintesifkan pembicaraan dengan penguasa
komunis China guna mempersiapkan pengambialihan kekuasaan di Indonesia. Kontak
Aidit-Mao maupun Soebandrio-Chen Yi makin intensif menjelang pengambilalihan
yang ternyata gagal itu.
Akhirnya,
sejarah pun mencatat: pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan
enam jenderal TNI-AD oleh pasukan Cakrabhirawa. Mereka lalu dibawa ke Lubang
Buaya untuk dimakamkan.
Tapi,
itu sekaligus pukulan balik bagi PKI. Pangkostrad Mayjen Soeharto berhasil
mengorganisasikan berbagai kekuatan anti-PKI untuk memukul balik lawannya.
Soeharto akhirnya menjadi penguasa Orba selama 30 tahun lebih[9].
Dikemukakan
antara lain oleh Ben Anderson, W.F. Wertheim dan Coen Hotsapel, teori ini
menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di
kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin
Gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin AD
hidup bermewah-mewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama baik AD.
Pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal
Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.
Gerakan
30 September merupakan Pertemuan antara Kepentingan Inggris-AS, menurut teori
ini G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap
konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan
kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas dari komunisme.
Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang
Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori dikemukakan
antara lain oleh Greg Poulgrain.
Dikemukakan
antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang
tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan
hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno: “unsur-unsur
Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang
tidak benar”. Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.
[1]Abdurakhman, Arif Pradono,
Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi. Sejarah
Indonesia (Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2018), hlm. 81-88.
[2]Ibid, hlm.89-91.
[3]Ibid, hlm.92-95.
[4]Ibid, hlm.96-98.
[5]Ibid, hlm.99-101.
[6]Bagian ini merupakan
Interpretasi Penulis; diambil dari Wikipedia bahasa Indonesia pada halaman https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
[7]Periksa bagian ini di :
https://news.detik.com/berita/d-480303/bung-karno-dalang-g30s-pki
[8]Sumber ini diambil sebagian
dari : “Artikel ini dari Pacific Negeri 58, Summer 1985, halaman 239-264. Peter
Dale Scott is a professor of English at the University of California in
Berkeley, and a member of the advisory board at Public Information Research.
Peter Dale Scott adalah seorang profesor bahasa Inggris di University of
California di Berkeley, dan anggota dewan penasihat di Riset Informasi Publik”.
[9]Ilmuwan Ceko Bongkar Konspirasi
di Balik Kudeta PKI 1965; lihat di : http://jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=5663