Saturday, November 5, 2022

Cara Memperbaiki Hardisk Bad Sector (Tidak Bisa di Instal)

 

Cara Memperbaiki Hardisk Bad Sector (Tidak Bisa di Install)

Pada artikel ini saya akan menjelaskan tentang cara memperbaiki hardisk bad sector (tidak bisa di install) . Ada beberapa penyebab laptop tidak bisa diinstal ulang antara lain: hardisk rusak/bad sector, tipe hardisk berbeda dengan bootable yang dibuat (untuk legacy biasa menggunakan tipe MBR sedangkan UEFI tipe hardisknya GPT), sampai pengaturan pada laptopnya sendiri.

Terkait dengan laptop tidak bisa instal ulang,, beberapa minggu yang lalu saya mengalami masalah terhadap laptop saya. Laptop saya hang not responding lama sekali dan tiba-tiba crash restart sendiri dan alhasil setelah restart laptop tidak bisa masuk ke windows. Setelah restart ada tulisan “your PC ran a problem and need to restart…” bla.. bla..

Saya pikir hanya masalah sepele, kemudian saya coba restart berulangkali hasilnya tetap sama saja. Saya sempat agak panik, heran kenapa laptop saya tiba-tiba not responding dan langsung rusak??

Akhirnya setelah putus asa Googling sana sini tidak dapat penyelesaian, terpaksa jalan terakhir instal ulang laptop. Pada saat install saya sempat heran lagi ketika masuk boot diklik install kenapa kok loadingnya lama sekali ? sekitar 10 menitan lebih loading, gak biasanya lama seperti ini. Begitu selesai loading saya install seperti biasa dan apa hasilnya??

Setelah menunggu lama sekali ternyata installnya tidak selesai dan ujungnya error juga bla..bla..( gak ingat apa tulisannya). Mulai dari sini saya sangat panik, kenapa laptop saya tidak bisa di install ulang? jangan-jangan hardisknya bermasalah?

Setelah googling lagi saya semakin yakin bahwa hardisknya yang error. Saya menduga hal ini terjadi mungkin karena sering mematikan laptop secara paksa. Akhirnya saya nyerah dan membawanya ke tukang service. Tapi hasilnya nihil saya justru disarankan untuk mengganti hardisk dan harganya 600rbuan. Ampuunn dehh..

Lalu apa yang saya lakukan??

Saya bawa pulang lagi laptopnya dan saya belikan kabel sambungan hardisk. Kemudian hardisk laptop saya keluarkan, setelah itu saya sambungkan dengan kabel sambungan hardisk supaya terbaca sebagai hardisk eksternal di laptop lain. pertamanya hardisk tidak terbaca tapi saya cabut dan colokkan ulang akhirnya terbaca.

Begitu selesai copy semua data laptop, hardisk saya format dengan aplikasi Hardisk low level format. Tetapi lagi-lagi setelah saya tunggu lama format hardisk gagal error di bagian akhir. Pernah juga saya format di Linux tapi ketika apply operation gagal.

Kemudian saya googling lagi dan akhirnya menemukan cara format hardisk yang bad sector melalui command prompt. Setelah saya lakukan alhamdulilah ternyata berhasil.

Langkah memperbaiki hardisk bad sector (laptop tidak bisa instal ulang windows)

  1. Pastikan semua data hardisk sudah di backup.
  2. Masuk ke bootable windows seperti pada saat melakukan install ulang laptop.
  3. Ketika sudah masuk ke boot, seperti gambar di bawah, tekan SHIFT+F10 untuk masuk ke system CMD (command prompt).memperbaiki hardisk bad sector (tidak bisa di install)
  4. Akan muncul kotak dialog CMD kemudian ketikkan diskpart tekan ENTER.
  5. list disk tekan ENTER.
  6. Akan tampak disk yang online seperti gambar di bawah. Kemudian ketikkan select disk 0 (Disk 0 adalah hardisk laptop, perhatikan ukurannya apakah sesuai/mendekati dengan ukuran hardisk laptop kamu).format hardisk bad sector melalui CMD

Terakhir ketikkan clean dan ENTER. Tunggu sampai ada tulisan “diskpart succeded in cleaning the disk”. Apabila telah selesai close CMD dan windows setup nya sehingga laptop akan kembali restart.

SELANJUTNYA :

  • Masuk booting instal ulang seperti biasa.
  • Pada bagian hardisk (dimana akan meletakkan file instalation windows) masih menyatu dan terbaca Unallocatted. Ini terjadi karena kita belum membuat partisi baru setelah di hapus.
  • Buatlah pasrtisi baru dengan pilih New. Buatlah Local Disk terlebih dahulu dan tentukan ukurannya (sebaiknya sekitar 70-100GB). Setelah itu terserah kamu ingin partisi lagi atau nanti setelah install baru ditambah partisinya. Saran sebaiknya partisi tidak lebih dari tiga.
  • Setelah selesai partisi lanjutkan install windows seperti biasa.

Cara di atas saya coba dan berhasil. Sampai saat ini alhamdulilah hardisk laptop saya masih lancar seperti biasa. Sekian cara mudah memperbaiki laptop yang tidak bisa di install ulang akibat hardisk bad sector, semoga bermanfaat.

Thursday, September 16, 2021

PRAHARA 1965 : DINAMIKA EKONOMI-POLITIK, POLA GERAKAN DAN PELAKU PERISTIWA

 




Prolog

Dua Minggu kedepan, tepat 56 tahun yang lalu peristiwa Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta (yang hampir sekaligus).

Peristiwa ini mewariskan “sejuta makna”–siapa sebenarnya yang dipersalahkan; kenapa peristiwa ini harus terjadi. PKI–kah, Soekarno–kah, Dewan Jenderal–kah, Agen-agen dunia keblinger–kah atau bahkan Soeharto–kah. Lantas–bagaimanakah generasi sekarang ini yang kebanyakan tidak mengalaminya; memaknai–makna apakah yang mereka ketengahkan–sekedar mengutuk ataukah hanya bagi mereka sebuah lelucon sejarah–“datang ga di undang, pulang ga diantar”–yang dibiarkan berlalu saja.

Interpertasi “sejuta makna” inilah yang ingin penulis “coret” kan dalam kesempatan yang berbahagia ini. Dini Hari menjelang subuh–terpotretlah sekumpulan orang sedang melakukan gerakan mencari, menemukan, membawa, mengintrograsi lalu mengeksekusi beberapa orang pesakitan. Siapa mereka, untuk apa dieksekusi dan mengapa menjadi pesakitan pada saat itu? pertanyaan-eprtanyaan ini telah dijawab melalui berbagai teori – baik dari orang-orang Indonesia sendiri maupun orang luar negeri.

Kemudian–pertanyaan-pertanyaan itu–sudah puaskah keingintahuan kita terjawab? kalau belum–mari kita tunggu sampai bosan bahkan mungkin beberapa saat ke depan. Sejarah sangat tepat dipakai dalam “menginterpertasikan” keingintahuan kita atas “sejuta makna” peristiwa tersebut.

Sejarah mempunyai jurus-jurus ampuh dalam memahami keingintahuan kita akan peristiwa “sejuta makna” tersebut. Yang pertama–kita harus cari tahu dengan cara mengumpulkan fakta-fakta yang ada–baik yang “ter” sembunyikan maupun yang ada; kemudian kita tidak harus menerima kenyataan “yang” dinyata-nyatakan, setelah itu baru kita “mungkin-mungkinkan” peristiwa ini “ber” makna ini atau itu. Terahir, baru lah kita “bicarakan” mau diilmiahkan atau tidak. Itulah jurus-jurus ampuh yang diketengahkan sejarah dalam menjawab “sejuta makna” keingintahuan kita akan 56 tahun yang lalu peristiwa tersebut.

Menuju Demokrasi Terpimpin

Kehidupan sosial politik Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950 hingga 1959) belum pernah mencapai kestabilan secara nasional. Kabinet yang silih berganti membuat program kerja kabinet tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Partai-partai politik saling bersaing dan saling menjatuhkan. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok masingmasing. Di sisi lain, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia. Padahal Presiden Soekarno menaruh harapan besar terhadap Pemilu 1955, karena bisa dijadikan sarana untuk membangun demokrasi yang lebih baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Presiden Soekarno bahwa “era ‘demokrasi raba-raba’ telah ditutup”. Namun pada kenyataanya, hal itu hanya sebuah angan dan harapan Presiden Soekarno semata. Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno berkeinginan untuk mengubur partai-partai politik yang ada, setidaknya menyederhanakan partai-partai politik yang ada dan membentuk kabinet yang berintikan 4 partai yang menang dalam Pemilihan Umum 1955. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957, di hadapan para tokoh politik dan krisis-krisis kewibawaan pemerintah yang terlihat dari jatuh bangunnya kabinet. Dalam konsepsinya Presiden Soekarno menghendaki dibentuknya kabinet berkaki empat (koalisi) yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil PNI, Masyumi, NU dan PKI. Selain itu Presiden Soekarno juga menghendaki dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional di dalam masyarakat.

Lebih jauh Presiden Soekarno juga menekankan bahwa Demokrasi Liberal yang dipakai saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Untuk itu ia ingin mengganti dengan suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan yang ditawarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957. Demokrasi Terpimpin juga merupakan suatu gagasan pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957. Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut, Pertama, dalam pembaruan struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang. Kedua, pembentukan kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau golongan karya.

Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Langkah pertama adalah pembentukan Dewan Nasional pada 6 Mei 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno mencoba mengganti sistem Demokrasi Parlementer yang membuat pemerintahan tidak stabil dengan Demokrasi Terpimpin.

Melalui panitia perumus Dewan Nasional, dibahas mengenai usulan kembali ke UUD 1945. Usulan ini berawal dari KSAD Letnan Jenderal Nasution yang mengajukan usul secara tertulis untuk kembali ke UUD 1945 sebagai landasan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Usulan Nasution ini kurang didukung oleh wakil-wakil partai di dalam Dewan Nasional yang cenderung mempertahankan UUD Sementara 1950. Situasi ini pada awalnya membuat Presiden Soekarno ragu untuk mengambil keputusan, namun atas desakan Nasution, akhirnya Presiden Soekarno menyetujui untuk kembali ke UUD 1945.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah mengeluarkan suatu keputusan pada tanggal 19 Februari 1959 tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945.

Keputusan ini pun kemudian disampaikan Presiden Soekarno di hadapan anggota DPR pada tanggal 2 Maret 1959. Karena yang berwenang menetapkan UUD adalah Dewan Konstituante, Presiden juga menyampaikan amanat terkait kembali ke UUD 1945 di hadapan anggota Dewan Konstituante pada tanggal 22 April 1959. Dalam amanatnya Presiden Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada jiwa revolusi dan mendengarkan amanat penderitaan rakyat. UUD 1945 akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian meminta anggota Dewan Konstituante untuk menerima UUD 1945 apa adanya tanpa perubahan dan menetapkannya sebagai UUD RI yang tetap.

Dewan Konstituante kemudian mengadakan pemungutan suara untuk mengambil keputusan terhadap usulan Presiden, namun setelah melakukan pemungutan sebanyak tiga kali tidak mencapai kuorum untuk menetapkan kembali UUD 1945. Pada keesokan harinya, tanggal 3 Juni 1959, Dewan Konstituante mengadakan reses yang akhirnya untuk selamanya. Hal ini disebabkan beberapa fraksi dalam Dewan Konstituante tidak akan menghadiri sidang lagi kecuali untuk pembubaran Dewan Konstituante. Kondisi ini membuat situasi politik menjadi sangat genting, konflik politik antarpartai semakin panas dan melibatkan masyarakat di dalamnya ditambah munculnya beberapa pemberontakan di daerah yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mencegah munculnya ekses-ekses politik sebagai akibat ditolaknya usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 oleh Dewan Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu), A.H. Nasution, atas nama pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik, yang berlaku mulai tanggal 3 Juni 1959, pukul 06.00 Pagi. KSAD dan Ketua Umum PNI, Suwiryo, menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk mengumumkan kembali berlakunya UUD 1945 dengan suatu Dekret Presiden. Sekretaris Jenderal PKI pun, D.N. Aidit memerintahkan anggota partainya yang duduk di Dewan Konstituante untuk tidak menghadiri kembali sidang Dewan Konstituante.

Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno memanggil Ketua DPR, Mr. Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan anggota Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil. Setelah melalui serangkaian pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga menyepakati untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekret Presiden.

Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan Dekret yang memuat tiga hal pokok, yaitu:

1.    Menetapkan pembubaran Konstituante;

2.    Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekret dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS);

3.    Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Dekret juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan Dekret akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekret pun dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekret juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekret, mengeluarkan perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan mengamankan Dekret Presiden. Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.

Melalui Dekret Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakukan melalui Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI. Sehari sesudah Dekret Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandat kepada Soekarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan.

Kemudian pada 10 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinet baru yang disebut Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku perdana menteri, dan Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan dr. Subandrio. Keanggotaan kabinet terdiri atas Sembilan menteri dan dua puluh empat menteri muda. Kabinet tidak melibatkan para ketua partai besar, sehingga kabinet bisa dikatakan sebagai kabinet non partai. Namun kabinet ini mengikutsertakan para kepala staf angkatan, kepala kepolisian dan jaksa agung sebagai menteri negara ex officio. Program kabinet yang dicanangkan meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.

Pembentukan kabinet kemudian diikuti pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang langsung diketuai oleh Presiden Soekarno, dengan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketuanya. DPAS bertugas menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Anggota DPAS dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang, 12 orang wakil golongan politik, 8 orang wakil/utusan daerah, 24 orang wakil golongan karya/fungsional dan satu orang wakil ketua.

Pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato peringatan kemerdekaan RI, Presiden Soekarno menafsirkan pengertian demokrasi terpimpinnya. Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno menguraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang isinya mencakup revolusi, gotong royong, demokrasi, anti imperialisme-kapitalisme, anti demokrasi liberal, dan perubahan secara total. Pidato tersebut diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. DPAS dalam sidangnya bulan November 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara. Presiden Soekarno kemudian menerima usulan pidatonya sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dengan nama “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat Manipol.

Lembaga berikutnya yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Penetapan Presiden No. 2/1959 tanggal 31 Desember 1959 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Chairul Saleh (tokoh Murba) sebagai ketuanya dan dibantu beberapa orang wakil ketua. Anggota MPRS pemilihannya dilakukan melalui penunjukkan dan pengangkatan oleh presiden, tidak melalui pemilihan umum sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

 Mereka yang diangkat harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI dan setuju dengan Manifesto Politik. MPRS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, namun diatur melalui Penpres No. 2/1959, dimana fungsi dan tugas MPRS hanya menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Sementara itu, untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan Umum 1955 tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945 dengan syarat menyetujui segala perombakan yang diajukan pemerintah sampai dibentuknya DPR baru berdasarkan Penetapan Presiden No. 1/1959.

Pada awalnya tampak anggota DPR lama seperti akan mengikuti apa saja yang akan menjadi kebijakan Presiden Soekarno, hal ini terlihat ketika DPR secara aklamasi dalam sidang 22 Juli 1959 menyetujui Dekret Presiden 5 Juli 1959. Akan tetapi benih konflik sebenarnya sudah mulai muncul antara ketua DPR dan Presiden. Sartono selaku ketua DPR menyarankan kepada Presiden Soekarno agar meminta mandat kepada DPR untuk melakukan perombakan struktur kenegaraan sesuai dengan UUD 1945 dan untuk melaksanakan program kabinet. Bahkan Sartono meyakinkan Presiden bahwa mandat itu pasti akan diberikan, namun Presiden Soekarno menolak, ia hanya akan datang ke DPR untuk menjelaskan perubahan konstitusi dan lain-lain, bukan untuk meminta mandat. Hal ini berarti Presiden tidak mau terikat dengan DPR.

Konflik terbuka antara DPR dan Presiden akhirnya terjadi ketika DPR menolak Rencana Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh Pemerintah. Penolakan tersebut membawa dampak pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Maret 1960. Ia kemudian mendirikan DPR Gotong Royong (DPR-GR). Para anggota DPR-GR ditunjuk Presiden tidak berdasarkan perimbangan kekuatan partai politik, namun lebih berdasarkan perimbangan lima golongan, yaitu Nasionalis, Islam, Komunis, Kristen- Katolik dan golongan fungsional. Sehingga dalam DPR-GR terdiri atas dua kelompok besar yaitu wakil-wakil partai dan golongan fungsional (karya) dengan perbandingan 130 wakil partai dan 153 wakil golongan fungsional.

Pelantikan anggota DPR-GR dilaksanakan pada 25 Juni 1960 dengan tugas pokok melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kedudukan DPR-GR adalah Pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh MPRS.

Pembubaran DPR hasil pemilu pada awalnya memunculkan reaksi dari berbagai pihak, antara lain dari pimpinan NU dan PNI. Tokoh NU yang pada awalnya keberatan atas pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan mengancam akan menarik pencalonan anggotanya untuk DPR-GR. Akan tetapi sikap ini berubah setelah jatah kursi kursi NU dalam DPR-GR ditambah. Namun, K.H. Wahab Chasbullah, Rais Aam NU, menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk bersama PKI dalam suatu kabinet dan NU sesungguhnya menolak kabinet Nasakom dan menolak kerjasama dengan PKI.

Tokoh dari kalangan PNI yang menolak kebijakan Presiden Soekarno datang dari dua orang sahabat Soekarno, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Tjokroadisurjo. Sartono merasa prihatin terhadap perkembangan yang ada dan Iskaq menyatakan bahwa anggota PNI yang duduk dalam DPR-GR bukanlah wakil PNI. Hubungan mereka dengan PNI sudah tidak ada lagi, sebab mereka yang duduk dalam DPR-GR adalah hasil penunjukkan.

Sikap tokoh partai memang bervariasi, mereka yang menolak pembubaran DPR-GR menggabungkan diri dalam suatu kelompok yang menamakan dirinya Liga Demokrasi. Tokoh yang terlibat dalam Liga Demokrasi ini meliputi tokoh partai NU, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan PSII dan beberapa panglima daerah yang memberikan dukungan. Kelompok ini mengusulkan untuk penangguhan pembentukan DPR-GR. Namun Liga Demokrasi ini kemudian dibubarkan oleh Soekarno.

Tindakan Presiden Soekarno lainnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah membentuk lembaga negara baru yang disebut Front Nasional. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959. Dalam penetapan ini disebutkan bahwa Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan citacita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional langsung diketuai oleh Presiden Soekarno.

Langkah Presiden Soekarno lainnya adalah melakukan regrouping kabinet berdasarkan Ketetapan Presiden No. 94 tahun 1962 tentang pengintegrasian lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan eksekutif. MPRS, DPRGR, DPA, Mahkamah Agung dan Dewan Perancang Nasional dipimpin langsung oleh Presiden. Pengintegrasian lembaga-lembaga tersebut dengan eksekutif membuat pimpinan lembaga tersebut diangkat menjadi menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu dan juga ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintah pada lembaganya masing-masing.

Selain itu, Presiden juga membentuk suatu lembaga baru yang bernama Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan Presiden No. 4/1962. MPPR merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR meliputi sejumlah menteri yang mewakili MPRS, DPR GR, Departemen-departemen, angkatan dan para pemimpin partai politik Nasakom.

Penilaian terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dilaksanakan oleh Presiden Soekarno pertama kali muncul dari M. Hatta, melalui tulisannya dalam Majalah Islam “Panji Masyarakat” pada tahun 1960 yang berjudul “Demokrasi Kita”. Hatta mengungkapkan kritiknya kepada tindakan-tindakan Presiden, tugas-tugas DPR sampai pada pengamatan adanya ‘krisis demokrasi’, yaitu sebagai demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaan, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki lambat laun akan digantikan oleh diktator[1].

Peta Kekuatan Politik Nasional

Antara tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan negara dengan TNI AD dan PKI di sampingnya. TNI, yang sejak Kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan Permesta pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting dalam bidang politik.

Dihidupkannya UUD 1945 merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya. Menguatnya pengaruh TNI AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan pengaruh TNI AD, terutama Nasution dengan dua taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat dukungan partai-partai politik yang berpusat di Jawa terutama PKI dan merangkul angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara.

Kekuatan politik baru lainnya adalah PKI. PKI sebagai partai yang bangkit kembali pada tahun 1952 dari puing-puing pemberontakan Madiun 1948. PKI kemudian muncul menjadi kekuatan baru pada Pemilihan Umum 1955. Dengan menerima Penetapan Presiden No. 7/1959, partai ini mendapat tempat dalam konstelasi politik baru. Kemudian dengan menyokong gagasan Nasakom dari Presiden Soekarno, PKI dapat memperkuat kedudukannya.

Sejak saat itu PKI berusaha menyaingi TNI dengan memanfaatkan dukungan yang diberikan oleh Soekarno untuk menekan pengaruh TNI AD. PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif di depan Presiden Soekarno. PKI menerapkan strategi “menempel” pada Presiden Soekarno. Secara sistematis, PKI berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan pendukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya. Hal ini seperti apa yang diungkapkan D.N. Aidit bahwa melaksanakan Manipol secara konsekuen adalah sama halnya dengan melaksakan program PKI. Hanya kaum Manipolis munafik dan kaum reaksionerlah yang berusaha menghambat dan menyabot Manipol. Ungkapan Aidit ini merupakan suatu upaya untuk memperoleh citra sebagai pendukung Soekarno.

PKI mampu memanfaatkan ajaran Nasakom yang diciptakan Soekarno sebaik-sebaiknya, karena lewat Nasakom inilah PKI mendapat tempat yang sah dalam konstelasi politik Indonesia. Kedudukan PKI semakin kuat dan respektabilitasnya sebagai kekuatan politik sangat meningkat. Bahkan ketika Presiden Soekarno akan membubarkan partai melalui penetapan presiden, konsep awal disebutkan bahwa partai yang akan dibubarkan adalah partai yang memberontak. Namun dalam keputusan final, Presiden Soekarno meminta ditambahkan kata “sedang” di depan kata “memberontak”, sehingga rumusannya berbunyi “sedang memberontak karena para pemimpinnya turut dalam pemberontakan....”. Sesuai dengan rumusan itu maka calon partai yang kuat untuk dibubarkan hanya Masyumi dan PSI. Sebaliknya, PKI yang pernah memberontak pada tahun 1948 terhindar dari pembubaran. (Anhar Gonggong, 2005).

PKI pun melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI, Aidit, Siapa setuju Nasakom harus setuju Pancasila. Berbagai pidato Soekarno dikutip disesuaikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah sejalan dengan gagasan dan cita-cita PKI. PKI terus meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberi citra kepada PKI sebagai partai paling Manipolis dan pendukung Presiden Soekarno yang paling setia.

Ketika Presiden Soekarno gagal membentuk Kabinet Gotong Royong (Nasakom) pada tahun 1960 karena mendapat tentangan dari kalangan Islam dan TNI AD, PKI mendapat kompensasi tersendiri dengan memperoleh kedudukan dalam MPRS, DPR-GR, DPA dan Pengurus Besar Front Nasional serta dalam Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR). Kondisi ini mendorong pimpinan TNI AD berusaha untuk mengimbanginya dengan mengajukan calon-calon lain sehingga menjadi pengontrol terhadap PKI dalam komposisinya. Upaya ini tidak mencapai hasil yang optimal karena Presiden Soekarno tetap memberikan porsi dan posisi kepada anggota PKI.

Ketika TNI AD mensinyalir adanya upaya dari PKI melakukan tindakan pengacauan di Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, pimpinan TNI AD mengambil tindakan berdasarkan UU Keadaan Bahaya Pimpinan TNI AD melarang terbitnya Harian Rakyat dan dikeluarkan perintah penangkapan Aidit dan kawan-kawan, namun mereka berhasil lolos. Kegiatan-kegiatan PKI-PKI di daerah juga dibekukan. Namun tindakan TNI AD ini tidak disetujui oleh Presiden Soekarno dan memerintahkan segala keputusan dicabut kembali. Presiden Soekarno melarang Peperda mengambil tindakan politis terhadap PKI.

Pada akhir tahun 1964, PKI disudutkan dengan berita ditemukannya dokumen rahasia milik PKI tentang Resume Program Kegiatan PKI Dewasa ini. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan. Namun pimpinan PKI, Aidit, menyangkal dengan berbagai cara dan menyebutnya sebagai dokumen palsu. Peristiwa ini menjadi isu politik besar pada tahun 1964. Namun hal ini diselesaikan Presiden Soekarno dengan mengumpulkan para pemimpin partai dan membuat kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan di antara unsur-unsur di dalam negeri diselesaikan secara musyawarah karena sedang menjalankan, konfrontasi dengan Malaysia.

Kesepakatan tokoh-tokoh partai politik ini dikenal sebagai Deklarasi Bogor. Namun PKI melakukan tindakan sebaliknya dengan melakukan sikap ofensif dengan melakukan serangan politik terhadap Partai Murba dengan tuduhan telah memecah belah persatuan Nasakom, dan akan mengadakan kudeta serta akan membunuh ajaran dan pribadi Presiden Soekarno. Upaya-upaya PKI ini membawa hasil dengan ditangkapnya tokoh-tokoh Murba, diantaranya Soekarni dan Partai Murba dibekukan oleh Presiden Soekarno.

Merasa kedudukannya yang semakin kuat PKI berusaha untuk memperoleh kedudukan dalam kabinet. Berbagai upaya dilakukan PKI mulai dari aksi coratcoret, pidato-pidato dan petisi-petisi yang menyerukan pembentukan Kabinet Nasakom. Mereka juga menuntut penggantian pembantu-pembantu Presiden yang tidak mampu merealisasikan Tri Program Pemerintah, serta mendesak supaya segera dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang berporoskan Nasakom.

Terhadap TNI AD pun, PKI melakukan berbagai upaya dalam rangka mematahkan pembinaan teritorial yang sudah dilakukan oleh TNI AD. Seperti peristiwa Bandar Betsy (Sumatera Utara) dan Peristiwa Jengkol. Upaya merongrong ini dilakukan melalui radio, pers, dan poster yang menggambarkan setan desa yang harus dibunuh dan dibasmi. Tujuan politik PKI di sini adalah menguasai desa untuk mengepung kota[2].

Pembebasan Irian Barat

Salah satu isu politik luar negeri yang terus menjadi pekerjaan rumah kabinet RI adalah masalah Irian Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Akan tetapi dalam perundingan KMB tahun 1950 masalah penyerahan Irian Barat ditangguhkan satu tahun dan berhasil dicapai dalam suatu kompromi pasal di Piagam Penyerahan Kedaulatan yang berbunyi : “Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan asas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak atau timbul diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat masalah kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland”. (Piagam Penyerahan Kedaulatan, dalam Notosoetardjo, Dokumen-dokumen Konperensi Medja Bundar: Sebelum, Sesudah dan Pembubarannya, Pustaka Endang, 1956).

Upaya yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui konferensi uni yang dilakukan secara bergilir di Jakarta dan di Belanda. Namun upaya penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan pemerintah kita mengajukan permasalahan ini ke Sidang Majelis Umum PBB. Namun upaya-upaya diplomasi yang dilakukan di forum PBB terus mengalami kegagalan. Indonesia pun kemudian mengambil jalan diplomasi aktif dan efektif yang puncaknya dilakukannya Konferensi Asia Afrika. Langkah ini cukup efektif dalam menggalang kekuatan untuk menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat internasional yang memaksa Belanda melunakkan sikapnya dan mau berunding bilateral untuk menyelesaikan permasalahan Irian.

Karena jalan damai yang telah ditempuh selama satu dasa warsa tidak berhasil mengembalikan Irian Barat, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain. Upaya ini telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1957, jalan lain yang dilakukan adalah melancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat, dimulai pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh kaum buruh. Untuk mencegah anarki, KSAD, Nasution, mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.

Hubungan Indonesia-Belanda semakin memuncak ketegangan pada 17 Agusus 1960, ketika Indonesia akhirnya memutuskan hubungan diplomatic dengan pemerintah Kerajaan Belanda[3]. Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum PBB menegaskan kembali sikapnya tentang upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI. Dalam pidato yang berjudul Membangun Dunia Kembali, Soekarno menegaskan bahwa : “Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral.... Harapan lenyap, kesabaran hilang; bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” (Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Depkominfo, 2005).

Pidato Presiden Soekarno itu, membawa dampak kepada dibuka kembalinya perdebatan Irian Barat di PBB. Usulan yang muncul dari perdebatan itu adalah agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan ini dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun.

Usulan ini datang dari wakil Amerika Serika di PBB, Ellsworth Bunker. Usulan itu secara prinsip disetujui oleh Pemerintah Indonesia namun dengan waktu yang lebih singkat. Sedangkan pemerintah Belanda lebih menginginkan membentuk negara Papua terlebih dahulu. Keinginan pemerintah Belanda ini disikapi Presiden Soekarno dengan “Politik Konfrontasi disertai dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.

Setelah upaya merebut kembali Irian Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik dan ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI menempuh cara lainnya melalui jalur konfrontasi militer. Dalam rangka persiapan kekuatan militer untuk merebut kembali Irian Barat, pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya usaha ini dilakukan kepada negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika Serikat, namun tidak membawa hasil yang memuaskan. Kemudian upaya ini dialihkan ke negaranegara Blok Timur (komunis), terutama ke Uni Soviet.

Belanda mulai menyadari bahwa jika Irian Barat tidak diserahkan ke Indonesia secara damai, maka Indonesia akan menempuh dengan kekuatan militer. Melihat perkembangan persiapan militer Indonesia, Belanda mengajukan nota protes kepada PBB bahwa Indonesia akan melakukan agresi. Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke perairan Irian, di antaranya adalah kapal induk Karel Doorman.

 

Perebutan kembali Irian Barat merupakan suatu tuntutan konstitusi, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, segala upaya telah dilakukan dan didukung oleh semua kalangan baik kalangan politisi maupun militer. Oleh karena itu, dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, di depan rapat raksasa di Yogyakarta, mengeluarkan suatu komando untuk berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang disebut dengan Tri Komando Rakyat (Trikora). Isi dari Trikora tersebut adalah :

1.    Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda;

2.    Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat;

3.    Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Dengan dideklarasikannya Trikora mulailah konfrontasi total terhadap Belanda di Papua. Langkah pertama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1962 tertanggal 2 Januari 1962 tentang pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat di bawah Komando Mayor Jenderal Soeharto. Sebelum Komando Mandala menjalankan fungsinya, unsur militer Indonesia dari kesatuan Motor Torpedo Boat (MTB), telah melakukan penyusupan ke Irian Barat.

Namun upaya ini diketahui oleh Belanda sehinga terjadi pertempuran yang tidak seimbang di Laut Aru antara kapal-kapal boat Indonesia dengan kapal-kapal Belanda. Naas Kapal MTB Macan Tutul, berhasil ditembak Belanda sehingga kapal terbakar dan tenggelam. Peristiwa ini memakan korban Komodor Yos Sudarso, Deputy KSAL dan Kapten Wiratno yang gugur bersamaan dengan tenggelamnya MTB Macan Tutul. Pemerintah Belanda pada mulanya menganggap enteng kekuatan militer di bawah Komando Mandala. Belanda menganggap bahwa pasukan Indonesia tidak akan mampu melakukan infiltrasi ke wilayah Irian. Namun ketika operasi infiltrasi Indonesia berhasil merebut dan menduduki kota Teminabuan, Belanda terpaksa bersedia kembali untuk duduk berunding guna menyelesaikan sengketa Irian. Tindakan Indonesia membuat para pendukung Belanda di PBB menyadari bahwa tuntutan pimpinan Indonesia bukan suatu yang main-main.

Di sisi lain Pemerintah Amerika Serikat juga menekan pemerintah Belanda untuk kembali berunding, agar Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak terseret dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik Barat Daya. Amerika Serikat juga punya kepentingan dengan kebijakan politik luar negerinya untuk membendung arus komunis di wilayah ini. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 ditanda-tangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, hal ini dikenal sebagai Perjanjian New York.

Hal pokok dari isi perjanjian itu adalah penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak Belanda ke PBB. Untuk kepentingan ini kemudian dibentuklah United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang kemudian akan menyerahkan Irian Barat ke pemerintah Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963. Berdasarkan Perjanjian New York, pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat sebelum akhir 1969 dengan ketentuan kedua belah pihak harus menerima apapun hasil dari Pepera tersebut.

Tindak lanjut berikutnya adalah pemulihan hubungan Indonesia Belanda yang dilakukan pada tahun 1963 dengan membuka kembali kedutaan Belanda di Jakarta dan kedutaan Indonesia di Den Haag. Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 secara resmi dilakukan penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jayapura. Kembalinya Irian ke pangkuan RI berakhirlah perjuangan memperebutkan Irian Barat.

Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian New York, Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas untuk melaksankan Act Free Choice/Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pemerintah Indonesia menjalankan dalam tiga tahap. Tiga tahapan ini sukses dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan hasil dari Pepera kemudian dibawa oleh Duta Besar Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan ke Sidang Umum Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera yang telah dilakukan Indonesia karena sudah sesuai dengan isi Perjanjian New York. Sejak saat itulah Indonesia secara de jure dan de facto memperoleh kembali Irian Barat sebagai bagian dari NKRI.

Konfrontasi Terhadap Malaysia

Masalah Malaysia merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk mendapatkan tempat dalam kalangan pimpinan negara. Masalah ini berawal dari munculnya keinginan Tengku Abdul Rahman dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura untuk menyatukan kedua negara tersebut menjadi Federasi Malaysia. Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia. Filipina menentang karena memiliki keinginan atas wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Sultan Sulu.

Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu, berdirinya negara federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia. Untuk meredakan ketegangan di antara tiga negara tersebut kemudian diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) di Filipina pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963. Hasil-hasil pertemuan puncak itu memberikan kesan bahwa ketiga kepala pemerintahan berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan sebaik-baiknya mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia yang menjadi sumber sengketa. Konferensi Maphilindo menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama. Inti pokok dari tiga dokumen tersebut adalah Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu.

Mengenai pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan ini sehingga dapat diketahui keinginan rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam Federasi Malaysia. Kemudian ketiga kepala pemerintahan tersebut meminta Sekjen PBB membetuk tim penyelidik.

Menindaklanjuti permohonan ketiga pimpinan pemerintahan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB membetuk tim penyelidik yang dipimpin oleh Lawrence Michelmore. Tim tersebut memulai tugasnya di Malaysia pada tanggal 14 September 1963. Namun sebelum misi PBB menyelesaikan tugasnya dan melaporkan hasil kerjanya, Federasi Malaysia diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963. Oleh karena itu, pemerintah RI menganggap proklamasi tersebut sebagai pelecehan atas martabat PBB dan pelangggaran Komunike Bersama Manila, yang secara jelas menyatakan bahwa penyelidikan kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum Federasi Malaysia diproklamasikan. Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman karena menganggap referendum tidak dijalankan secara semestinya. Hal itu merupakan suatu perwujudan dari “act of bad faith” dari Tengku Abdul Rahman. Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang dibalas pula dengan aksi-aksi demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17 September 1963, hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan. Pemerintah RI pada tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah. Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara dalam melawan Neokolonilisme Inggris.

Konflik di Asia Tenggara ini menarik perhatian beberapa negara dan menghendaki penyelesaian pertikaian secara damai. Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan Thailand berusaha melakukan mediasi menyelesaikan masalah ini. Namun masalah pokok yang menyebabkan sengketa dan memburuknya hubungan ketiga negara tersebut tetap tidak terpecahkan, karena PM Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman tidak menghadiri forum pertemuan tiga negara.

Upaya lainnya adalah melakukan pertemuan menteri-menteri luar negeri Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bangkok. Namun pertemuan Bangkok yang dilakukan sampai dua kali tidak menghasilkan satu keputusan yang positif, sehingga diplomasi mengalami kemacetan. Di tengah kemacetan diplomasi itu pada 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) di hadapan apel besar sukarelawan.

“Kami perintahkan kepada dua puluh satu juta sukarelawan Indonesia yang telah mencatatkan diri: perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantuan perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunai untuk membubarkan negara boneka Malaysia”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012). Untuk menjalankan konfrontasi Dwikora, Presiden Soekarno membentuk Komando Siaga dengan Marsekal Madya Oemar Dani sebagai Panglimanya.

Walaupun pemerintah Indonesia telah memutuskan melakukan konfrontasi secara total, namun upaya penyelesaian diplomasi terus dilakukan. Presiden RI menghadiri pertemuan puncak di Tokyo pada tanggal 20 Juni 1964.

Ditengah berlangsungnya Konfrontasi Indonesia Malaysia, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kondisi ini mendorong pemerintah Indonesia mengambil sikap menolak pencalonan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap Indonesia ini langsung disampaikan Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 31 Desember 1964. Presiden Seokarno menegaskan bahwa : “Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, kita, Indonesia, akan keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012)

Dari pidato tersebut terlihat bahwa keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena masuknya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ketika tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Sokearno menyatakan “Indonesia keluar dari PBB”.

Walaupun Indonesia sudah keluar dari PBB, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia Malaysia dan perombakan PBB tetap tidak tercapai. Karena dengan keluarnya Indonesia dari PBB, Indonesia kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian persengketaan dengan Malaysia secara damai[4].

Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin

Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan ekonomi terpimpin, sebagai awal berlakunya herordering ekonomi. Dimana alat-alat produksi dan distribusi yang vital harus dimiliki dan dikuasai oleh negara atau minimal di bawah pengawasan negara. Dengan demikian peranan pemerintah dalam kebijakan dan kehidupan ekonomi nasional makin menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan sistem komando. Sikap dan kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi.

Masalah pemilikan aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi politiknya ditempatkan sebagai masalah strategis nasional. Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa Demokrasi Liberal berusaha diperbaiki oleh Presiden Soekarno. Beberapa langkah yang dilakukannya antara lain membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan melakukan sanering mata uang kertas yang nilai nominalnya Rp500 dan Rp1.000,00 masing-masing nilainya diturunkan menjadi 10% saja.

Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959 yang dipimpin oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang. Tugas dewan ini menyusun overall planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural dan mental. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi Depernas yang tugas utamanya memberikan isi kepada proklamasi melalui grand strategy, yaitu perencanaan overall dan hubungan pembangunan dengan Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin.

Depernas kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan nasional yang disebut sebagai Pola Pembangunan Semesta Berencana dengan mempertimbangkan faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan.

Perencanaan ini meliputi perencanaan segala segi pembangunan jasmaniah, rohaniah, teknik, mental, etis dan spiritual berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang tersimpul dalam alam adil dan makmur. Pola Pembangunan Semesta dan Berencana terdiri atas Blueprint tripola, yang meliputi pola proyek pembangunan, pola penjelasan pembangunan dan pola pembiayaan pembangunan.

Pola Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dibuat untuk tahun 1961-1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede. Penasbede ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960 dan diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961.

Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri. Tugas Bappenas ialah menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.

Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu uang kertas pecahan Rp500,00 dan Rp1.000,00 yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan nilainya menjadi Rp50,00 dan Rp100,00. Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank yang nilainya di atas Rp25.000,00 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp1.000,00 dan Rp500,00 yang masih berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai Rp100,00 dan Rp50,00 sebelum tanggal 1 Januari 1960.

Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI/TII Jawa Barat dan pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep Djuanda. Namun konsep ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI karena dianggap bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia.

Upaya perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia 13. Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai politik, anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA. Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.

Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri atas beberapa tahap;Tahapan pertama, harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional demokratis yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme. Tahapan ini merupakan persiapan menuju tahapan kedua yaitu tahap ekonomi sosialis.

Beberapa peraturannya merupakan upaya mewujudkan stabilitas ekonomi nasional dengan menarik modal luar negeri serta merasionalkan ongkos produksi dan menghentikan subsidi. Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik yang memberi tafsir sendiri terhadap Dekon. PKI termasuk partai yang menolak melaksanakan Dekon, padahal Aidit terlibat di dalam penyusunannya, selama yang melaksanakannya bukan orang PKI. Empat belas peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan dihantam habis-habisan oleh PKI. Djuanda dituduh PKI telah menyerah kepada kaum imperialis. Presiden Soekarno akhirnya menunda pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut pada bulan September 1963 dengan alasan sedang berkonsentrasi pada konfrontasi dengan Malaysia.

Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. Salah satu penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis dari pada ekonomi, misalnya pembangunan Monumen Nasional (Monas), pertokoan Sarinah, dan kompleks olahraga Senayan yang dipersiapkan untuk Asian Games IV dan Games Of the New Emerging Forces (Ganefo).

Kondisi perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha mendapatkan devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus dibayar kembali setelah satu atau dua tahun. Menteri Bank Sentral Yusuf Muda Dalam memanfaatkan devisa kredit ini sebagai deferedpayment khusus untuk menghimpun dan menggunakan dana revolusi dengan cara melakukan pungutan terhadap perusahaan atau perseorangan yang memperoleh fasilitas kredit antara Rp250 juta sampai Rp 1 milyar. Perusahaan atau perseorangan itu harus membayar dengan valuta asing dalam jumlah yang sudah ditetapkan.

Walaupun cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk menghimpun dana revolusi, karena dana ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat prestise politik atau mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri.

Dampak dari kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan kenaikan barang mencapai 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp1.000,00 (uang lama) diganti dengan Rp1,00 (uang baru). Tindakan penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar yang mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aksiaksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)[5].

Pola Gerakan

Gerakan mempunyai pola umum yang dimulai dengan Pada tahun 1960 dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.

Kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal mengatasi masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik, serta korupsi birokrat dan militer menjadi wabah; kemudian Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.

Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Di tahun 1964 juga sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut. Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Soekarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Soekarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Soekarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rejim Soekarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara[6].

Kronologi peristiwa G30S PKI dimulai dengan kasus penculikan tujuh jenderal oleh sekelompok pasukan. Tiga di dari tujuh jenderal yang di targetkan telah di bunuh di rumah masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T Haryono, dan D. I Panjaitan. Ketiga target lainnya, yakni Soeprapto, S. Parman, dan Sutoyo ditangkap dalam keadaan hidup. Target utama lainnya, Abdul Harris Nasution, berhasil meloloskan diri dari kejadian tersebut. Namun, sang putri, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan A. H. Nasution, Pierre Tendean tewas tertembak oleh PKI. Korban-korban tersebut kemudian dibuang ke sebuah lokasi di Pondok Gede yang dikenal dengan Lubang Buaya. Korban tewas pun bertambah dalam kejadian ini, di antaranya adalah Bripka Karel Sadsuit Tubun, Kolonel Katamso Darmokusumo, dan Letkol Sugiyono Mangunwiyoto yaitu bertepatan pada Kamis, 30 September 1965 malam, PKI melakukan gerakan untuk merebut kekuasaan. Aksi inilah yang kemudian dinamakan Gerakan 30 September atau Gestapu yang dipimpin oleh Letkol. Untung Sutopo, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno.

Interpretasi yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Dijelaskan Dake, pada 4 Agustus 1965 Soekarno pernah memanggil beberapa orang ke Istana, salah satunya Untung. Untung cs itu diminta untuk menindak para jenderal yang dianggap tidak loyal karena menolak pembentukan angkatan kelima. Untung, yang merupakan salah satu perwira pengawal Presiden Soekarno, menjawab, "Jika bapak membiarkan kita menindak para jenderal, saya akan melaksanakan perintah apa pun dari pemimpin besar."Sebelum diterbitkan dalam Bahasa Indonesia, buku Dake telah diterbitkan dalam Bahasa Belanda. Buku setebal 549 halaman ini diterbitkan Aksara Karun.

Dake melanjutkan penjelasannya, Presiden Soekarno telah mengetahui dua hari sebelumnya bahwa 1 Oktober pukul 04.00 adalah hari kudeta. Soekarno telah mengetahui jenderal TNI Angkatan Darat mana yang menjadi sasaran dan apa yang akan terjadi terhadap mereka."Saya tidak menemukan bukti-bukti yang dapat mengatakan bahwa Soeharto terlibat. CIA juga tidak terlibat. Cerita sebenarnya jauh lebih sederhana dan kurang meriah setelah arsip Amerika dibuka setelah sekian tahun," paparnya. Tuduhan kepada Soeharto sebagai dalang peristiwa G30S PKI, menurut Dake, tidak beralasan. Alasannya, tindakan yang diambil Soeharto adalah reaksi atas tragedi yang menimpa pada jenderal.

Sebuah penafsiran sejarah atas peristiwa kudeta berdarah Gerakan 30 September PKI kembali muncul. Menurut sebuah buku terbaru, peristiwa G30S PKI didalangi oleh Presiden Soekarno. Mayjen Soeharto, saat itu menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, tidak terlibat. Pandangan ini muncul dari penulis buku "Sukarno File, Kronologis Suatu Keruntuhan", Antonie C.A. Dake, dalam peluncurkan bukunya di sebuah rumah makan di Wisma Kodel, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (17/11/2005)."Mastermind dari peristiwa tersebut adalah Soekarno," kata Dake tegas saat menjawab pertanyaan salah seorang peserta diskusi dalam peluncuran bukunya. Acara peluncuran buku ini dihadiri salah satu putri Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri. Juga hadir mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, FachryAli, Budiman Sudjatmiko, serta beberapa peneliti dari Sugeng Sarjadi Syndicate sebagai penyelenggara acara.[7]

Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.

Pada 1 Oktober 1965, operasi penumpasan G30S PKI pun dilakukan. Operasi ini dipimpin oleh Panglima Kostrad dengan menghimpun pasukan lainnya, seperti Divisi Siliwangi, Kaveleri, dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Tidak adanya dukungan dari masyarakat dan angkatan bersenjata membuat tokoh pendukung G30S PKI, termasuk ketua PKI D.N, Aidit melarikan diri. Dengan operasi penumpasan tersebut, para pemimpin dan tokoh PKI berhasil ditangkap dan dihukum dengan ditembak mati. Operasi ini juga berhasil melumpuhkan kekuatan PKI. Sementara itu, jenazah ketujuh jenderal ditemukan pada 3 Oktober 1965 dan pengangkatan jenazah dilakukan keesokan harinya. Pada 5 Oktober 1965, seluruh korban dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.

Pelaku peristiwa

Sejumlah pertemuan sebelum 1 Oktober 1965 yang dihadiri oleh mereka yang oleh pimpinan PKI dinamai Perwira Progresif terdiri dari Kolonel Inf Latief, Letkol Inf Untung, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi, dihadiri sejumlah orang sipil yakni Syam, Pono dan Bono dari Biro Chusus (BC) PKI. Dengan kehadiran pimpinan BC PKI, apakah ini berarti konsep G30S berasal dari mereka? Bagaimana sebenarnya hubungan orang-orang militer ini dengan BC? Apa sekedar karena sama-sama alat revolusi sesuai dengan ajaran Bung Karno (BK) dan pendukung BK? Atau suatu komplotan? Hubungan ini diungkapkan dalam buku putih Orba sebagai komplotan PKI. Jika G30S merupakan komplotan PKI, apa sebab massa PKI yang amat besar, yang berjuta-juta itu sama sekali tidak dikerahkan atau dipersiapkan, bahkan mereka tidak tahu-menahu, termasuk banyak pimpinan PKI yang tersebar di seluruh Indonesia tidak tahu dengan tepat? Msih banyak pertanyaan lain yang jawabnya tidak begitu jelas dan tidak memuaskan yang selalu menimbulkan pertanyaan baru.

Dalam salah satu pertemuan (ke 5 pada 17 September 1965) anak buah Latief, Mayor Inf Agus Sigit, Dan Yon 203, mendebat arahan Syam tentang rencana operasi penangkapan para jenderal yang dipandangnya tidak profesional. Usulan dia tentang penutupan jalan masuk ke Jakarta dari arah Bogor, Tangerang dan Bekasi pada saat gerakan, ditolak sebagai kekiri-kirian. Ia menyampaikan pertanyaan tajam, apa sebab Presiden tidak memerintahkan segera menangkap Dewan Djenderal (DD, ejaan lama)? Apa tidak mampu? Apa sebab orang-orang dalam pertemuan itu yang harus menangkapnya? Karena Mayor Inf Agus Sigit, anak buah Kolonel Inf Latief, tidak setuju dengan sejumlah masalah penting yang dibicarakan dalam rapat 17 September 1965, ia tidak lagi mengikuti pertemuan-pertemuan berikutnya, bahkan kemudian pada 1 Oktober 1965 pasukannya tidak muncul. Masalah-masalah penting yang dikemukakan dan dipertanyakan Agus Sigit rupanya tidak mendapatkan perhatian semestinya dari yang lain. Kemudian terbukti hal-hal itu menjadi sebagian kelemahan mendasar gerakan.

Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan KlatenTeori yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta tanggal 30 September 1965.

Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten Soekarno adalah Dalang Gerakan 30 September. Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret.

Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.

Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Namun terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah di antara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu: AD dengan PKI.

Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap cabinet dan tentara. Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga persoalan ini sementara selesai. Hal ini kemudian malah membuat hubungan Soekarno dengan PKI kian dekat (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010).

Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan partai pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin giat melakukan mobilisasi massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak anggota. Partai-partai lain seperti NU dan PNI hingga saat itu praktis telah dilumpuhkan (Feith, 1998).

Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam kabinet. Mungkin PKI merasa kedudukannya sudah cukup kuat. Pada tahun-tahun sebelumnya partai ini umumnya hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah khususnya para menteri yang memiliki pandangan politik berbeda dengan mereka.

Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti-PKI memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro PKI segera mengecam keras. Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu.

Tidak sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah. Sedangkan di daerah, persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik lagi karena bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye aksi sepihak. Aksi ini merupakan upaya mengambil alih tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa. “Setan Desa” menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik tanah (Tornquist, 2011).

Adegan-adegan protes pun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa. Dalam aksi pengambilalihan tanah --terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga Bali, Jawa Barat dan Sumatera Utara-- massa PKI-pun terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan, tentu saja, para tuan tanah, juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara. Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang taat dan pendukung PNI. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur, segera saja berhadapan muka dengan para santri NU.

Di kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Ini misalnya tergambar dalam cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo, yang akan pergi ke suatu resepsi. Ia, yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh ratusan tukang becakdi tengah terik matahari ke kantor polisi untuk menyelesaikan pertikaian harga becak. Adegan serupa pernah juga terjadi di berbagai kota. Ada pula para kepala desa yang sudah tua disidangkan di depan pengadilan rakyat (Ong Hok Ham,1999).

Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak semakin lama semakin kuat. Kekerasan jadinya semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tindak balasan anti PKI dipelopori oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor.

Hubungan Angkatan Darat dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanas. Sindiran dan kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI terhadap AD. Pada bulan-bulan awal tahun 1965 PKI “menyerang” para pejabat anti PKI dengan menuduhnya sebagai kapitalis birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka hingga pertengahan tahun 1965 atau sebelum pecah kudeta di awal Oktober, kekuatan politik di ibukota tampaknya sudah semakin bergeser ke kiri. PKI kian berada di atas angin dengan perjuangan partai yang semakin intensif.

Komunis yang pro-RRC (Republik Rakyat Cina yang komunis) di Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan ini akhirnya memang gagal direalisasikan. PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen

Gilchrist” yang ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan sebagai isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk melakukan kudeta. Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan dan Jenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini saat Presiden Soekarno bertanya kepadanya, namun pertentangan PKI dengan Angkatan Darat kini tampaknya telah mencapai level yang akut. Pada bulan Mei 1965, Pelda. Sujono yang berusaha menghentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani segera menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili. Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan, dan Katolik. Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok Modern Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik Abdullah, ed., 2012: 139). Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat marah kalangan Islam. Apalagi empat bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau peserta mental Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh tanpa melepas alas kaki yang penuh lumpur lalu melecehkan Al Quran.

Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi pada bulan Juli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak. Dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September” dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor JenderalSoeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban.

Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu: Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono. Pada berita RRI pagi harinya, Letkol. Untung lalu menyatakan pembentukan “Dewan Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat. Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.

Berbagai macam persiapan (misalnya gerakan dipimpin Letkol Untung yang baru lima bulan berada di pasukan Cakrabirawa/Jakarta, pasukan yang mengambil bagian dalam gerakan tidak jelas atau terlalu sedikit tidak seperti yang dilaporkan, logistik tidak memadai, atau bahkan tidak ada), dokumen-dokumen G30S saling bertentangaqn satu sama lain, tidak menyebut kedudukan BK. Dekrit No.1 menyebutkan, “Dengan jatuhnya segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner”; dalam Keputusan No.2 disebut, “Berhubung segenap kekuasaan dalam Negara RI pada 30 September 1965 diambilalih oleh Gerakan 30 September…” lalu ada penurunan pangkat. Selanjutnya pasukan G30S membunuh tiga orang jenderal di tempat, membunuh sisanya di Pondokgede/Lubang Buaya, bertentangan dengan pemahaman perintah Letkol Untung.

Sebelum 1 Oktober Latief setidaknya menemui Jenderal Soeharto dua kali. Siapa yang menugaskan dirinya? Syam bersaksi ia yang berada di tempat agak jauh di tempat yang sama. Latief sebagai Dan Brigif I Kodam Jaya membawahi tiga batalion tetapi yang ikut bergerak bersamanya cuma dua peleton Detasemen Kompi Markas. Nama Latief tidak tercantum dalam daftar Komando Gerakan, tetapi “hanya” sebagai anggota Dewan Revolusi, sedang dari segi pangkat dia nomor dua setelah Brigjen Suparjo. Dapat ditambahkan bahwa Brigjen Suparjo tidak pernah ikut rapat-rapat persiapan, mungkin sekali ia hanya menerima informasi bahwa segala sesuatunya beres, sebagaimana tercantum dalam “dokumen Suparjo.”

Pendapat yang menyatakan bahwa Soeharto adalah dalang Gerakan 30 September antara lain dikemukakan oleh Brian May dalam bukunya, “Indonesian Tragedy”. Menurut Brian May terdapat kedekatan hubungan antara Letkol. Untung sebagai pemimpin Gerakan 30 September 1965 dengan Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad. CIA dan moyangnya telah malang melintang di Indonesia sejak permulaan kemerdekaan, salah satu puncaknya di masa pemberontakan PRRI dan Permesta. Dalam bulan Desember 1964, seorang Duta Besar Pakistan di Eropa menulis laporan kepada Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Bhutto antara lain berisi percakapannya dengan seorang perwira intelijen Nato. Sejumlah dinas intelijen Barat sedang menyusun suatu skenario akan terjadinya suatu kudeta militer yang terlalu dini yang dirancang untuk gagal. Dengan itu akan terbuka kesempatan legal yang ditunggu-tunggu bagi AD untuk menghancurkan kaum komunis dan menjadikan Soekarno sebagai tawanan AD. Demikian diungkapkan oleh penelitian Neville Maxwell. Dalam memorandum rahasia Washington 23 Februari 1965 dibicarakan tentang dukungan terhadap elemen anti-komunis menghadapi PKI dan politik Soekarno dengan selebaran dan siaran radio gelap, kalau perlu menggunakan ajaran Soekarno. Dalam telegram rahasia Dubes Jones 24 Mei 1965 dibicarakan tentang rancangan kudeta yang terpaksa diundur. Dubes AS ini menyebutkan tentang adanya “hubungan pribadi dengan salah satu pemimpin kelompok kudeta yang mewakili elemen sipil dan militer penting.” Setelah kudeta [di radio] oleh G30S pada 1 Oktober 1965, Dubes Marshall Green yang menggantikan Jones menyatakan dengan “bijaksana,”…… “bahwa sikap yang paling bijaksana [pihak AS] ialah mengakui kup itu benar-benar mengagetkan kami [AS]….. “Pendeknya pemerintah AS dan CIA yang sudah tahu jauh-jauh hari serta ikut merancangnya itu pura-pura kaget dan tidak tahu apa yang harus diperbuat….. Tipuan sederhana inilah yang dipercaya sebagian sejarawan dan pengulas sejarah G30S meski sudah dibuat jelas oleh mantan Dubes AS Marshall Green sebagai tipuan. Kudeta di radio itu kemudian segera diikuti oleh kudeta sebenarnya Jenderal Soeharto.

Teori lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang tengah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu kelompok dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno.

Setelah kegagalan G30S dan PKI mendapat hantaman palu godam Jenderal Soeharto cs, selapisan pimpinan PKI [di antaranya Sudisman yang mengaku terlibat] mengadakan kritik otokritik pada 1965/1966 [yang terkenal dengan sebutan KOK]. Sudisman menghubungkan kegagalan G30S tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di bidang ideologi, politik dan organisasi sejak 1950-an. Tak pelak para penyusunnya ikut ambil bagian dan bertanggungjawab terhadap kesalahan tersebut, hal ini didasarkan pada kenyataan tidak adanya oposisi mendasar yang berarti sebelum tragedi 1965 terhadap pimpinan kolektif PKI.

In this short paper on a huge and vexed subject, I discuss the US involvement in the bloody overthrow of Indonesia's President Soekarno, 1965-67. The whole story of that ill-understood period would transcend even the fullest possible written analysis. Much of what happened can never be documented; and of the documentation that survives, much is both controversial and unverifiable. The slaughter of Soekarno's left-wing allies was a product of widespread paranoia as well as of conspiratorial policy, and represents a tragedy beyond the intentions of any single group or coalition. Nor is it suggested that in 1965 the only provocations and violence came from the right-wing Indonesian military, their contacts in the United States, or (also important, but barely touched on here) their mutual contacts in British, German and Japanese intelligence. And yet, after all this has been said, the complex and ambiguous story of the Indonesian bloodbath is also in essence simpler and easier to believe than the public version inspired by President Soeharto and US government sources. Their problematic claim is that in the so-called Gestapu (Gerakan September Tigahpuluh) coup attempt of September 30, 1965 (when six senior army generals were murdered), the left attacked the right, leading to a restoration of power, and punitive purge of the left, by the center. This article argues instead that, by inducing, or at a minimum helping to induce, the Gestapu "coup," the right in the Indonesian Army eliminated its rivals at the army's center, thus paving the way to a long-planned elimination of the civilian left, and eventually to the establishment of a military dictatorship. Gestapu, in other words, was only the first phase of a three-phase right-wing coup -- one which had been both publicly encouraged and secretly assisted by US spokesmen and officials. Before turning to US involvement in what the CIA itself has called "one of the worst mass murders of the twentieth century," let us recall what actually led up to it. According to the Australian scholar Harold Crouch, by 1965 the Indonesian Army General Staff was split into two camps. At the center were the general staff officers appointed with, and loyal to, the army commander General Yani, who in turn was reluctant to challenge President Soekarno's policy of national unity in alliance with the Indonesian Communist party, or PKI. The second group, including the right-wing generals Nasution and Soeharto, comprised those opposed to Yani and his Soekarnoist policies. All of these generals were anti-PKI, but by 1965 the divisive issue was Soekarno The simple (yet untold) story of Soekarno's overthrow is that in the fall of 1965 Yani and his inner circle of generals were murdered, paving the way for a seizure of power by right-wing anti-Yani forces allied to Soeharto. The key to this was the so-called Gestapu coup attempt which, in the name of supporting Soekarno, in fact targeted very precisely the leading members of the army's most loyal faction, the Yani group. An army unity meeting in January 1965, between "Yani's inner circle" and those (including Soeharto) who "had grievances of one sort or another against Yani," lined up the victims of September 30 against those who came to power after their murder. Not one anti-Soekarno general was targeted by Gestapu, with the obvious exception of General Nasution. But by 1961 the CIA operatives had become disillusioned with Nasution as a reliable asset, because of his "consistent record of yielding to Soekarno on several major counts." Relations between Soeharto and Nasution were also cool, since Nasution, after investigating Soeharto on corruption charges in 1959, had transferred him from his command. The duplicitous distortions of reality, first by Lt. Colonel Untung's statements for Gestapu, and then by Soeharto in "putting down" Gestapu, are mutually supporting lies. Untung, on October 1, announced ambiguously that Soekarno was under Gestapu's "protection" (he was not); also, that a CIA-backed Council of Generals had planned a coup for before October 5, and had for this purpose brought "troops from East, Central, and West Java" to Jakarta. Troops from these areas had indeed been brought to Jakarta for an Armed Forces Day parade on October 5th. Untung did not mention, however, that "he himself had been involved in the planning for the Armed Forces Day parade and in selecting the units to participate in it;" nor that these units (which included his own former battalion, the 454th) supplied most of the allies for his new battalion's Gestapu activities in Jakarta.

Soeharto's first two broadcasts reaffirmed the army's constant loyalty to "Bung Karno the Great Leader," and also blamed the deaths of six generals on PKI youth and women, plus "elements of the Air Force" -- on no other evidence than the site of the well where the corpses were found. At this time he knew very well that the killings had in fact been carried out by the very army elements Untung referred to, elements under Soeharto's own command.Thus, whatever the motivation of individuals such as Untung in the Gestapu putsch, Gestapu as such was duplicitous. Jadi, apapun motivasi individu seperti Untung dalam pemberontakan Gestapu, Gestapu seperti itu ganda. Both its rhetoric and above all its actions were not simply inept; they were carefully designed to prepare for Soeharto's equally duplicitous response. For example, Gestapu's decision to guard all sides of the downtown Merdeka Square in Jakarta, except that on which Soeharto's KOSTRAD [Army Strategic Reserve Command] headquarters were situated, is consistent with Gestapu's decision to target the only army generals who might have challenged Soeharto's assumption of power. Again, Gestapu's announced transfer of power to a totally fictitious "Revolutionary Council," from which Soekarno had been excluded, allowed Soeharto in turn to masquerade as Soekarno's defender while in fact preventing him from resuming control. More importantly, Gestapu's gratuitous murder of the generals near the air force base where PKI youth had been trained allowed Soeharto, in a Goebbels-like manoeuvre, to transfer the blame for the killings from the troops under his own command (whom he knew had carried out the kidnappings) to air force and PKI personnel who where ignorant of them. From the pro-Soeharto sources -- notably the CIA study of Gestapu published in 1968 -- we learn how few troops were involved in the alleged Gestapu rebellion, and, more importantly, that in Jakarta as in Central Java the same battalions that supplied the "rebellious" companies were also used to "put the rebellion down. ." Two thirds of one paratroop brigade (which Soeharto had inspected the previous day) plus one company and one platoon constituted the whole of Gestapu forces in Jakarta; all but one of these units were commanded by present or former Diponegoro Division officers close to Soeharto; and the last was under an officer who obeyed Soeharto's close political ally, Basuki Rachmat. Two of these companies, from the 454th and 530 th battalions, were elite raiders, and from 1962 these units had been among the main Indonesian recipients of US assistance. This fact, which in itself proves nothing, increases our curiosity about the many Gestapu leaders who had been US-trained[8]

Jika Soeharto bukan dari bagian komplotan, maka Latief yang telah menemuinya sampai dua kali dan menyampaikan tentang gerakan yang sedang diikutinya merupakan pembocoran rahasia gerakan sebagai yang dituduhkan sementara orang. bahkan ada juga yang menuduhnya ia berkhianat terhadap gerakan, padahal kepergiannya setahu Letkol Untung dan Brigjen Suparjo. Latief mempuyai hubungan dekat dengan bekas atasannya, tentunya sedikit banyak ia tahu tentang pandangan politik Soeharto. Apalagi justru Jenderal Soeharto yang memanggil dan menginspeksi pasukan Yon 530 Brawijaya dan Yon 434 Diponegoro yang dianggap terlibat G30S. Setidaknya menurut Syam pasukan itu mendukung gerakan meskipun kita tidak dapat melihat di mana letak dukungannya itu, kecuali sebagian pasukan Yon 434 Diponegoro yang hendak mengundurkan diri ke PAU Halim dan yang ditolak oleh pihak AU, lalu berada di pinggiran Halim. Mereka ini yang terlibat kontak senjata dengan pasukan RPKAD.

Pada pagi setelah jam 08.30 1 Oktober 1965 Letkol Pnb Heru Atmodjo sesuai dengan tugasnya mengantarkan Brigjen Suparjo yang baru saja bertemu Men/Pangau Omar Dani ke rumah Sersan Anis Suyatno di kompleks perumahan bintara di Halim. Di sana Heru Atmodjo melihat kembali beberapa orang yang pagi itu diperkenalkan kepadanya di gedung Penas, Kolonel Latief, Letkol Untung dan dua orang sipil bersama Mayor Suyono. Di belakang hari diketahuinya kedua orang sipil itu bernama Syam Kamaruzaman dan Pono. Sebagai seorang tentara yang memiliki pengalaman memimpin operasi militer, ia tidak melihat adanya sekelompok pimpinan yang sedang memimpin operasi. Apalagi operasi yang dilakukan [seperti dikatakan oleh Mayor Udara Suyono] setingkat divisi, tentunya ada staf pemikir dan pembantu bagi komandan atau panglima pasukan. Karena ia melihat sendiri gerakan itu dari dekat, maka “gerakan ini seperti dirancang sedemikian rupa untuk menemui kegagalannya” Demikian tulis Heru Atmodjo. G30S tidak mempunyai rencana alternatif, tetapi hanya ada satu rencana, itu merupakan permulaan kegagalan dari kacamata militer maupun politik seperti ditulis Jenderal Nasution.

Pada sore hari 1 Oktober 1965 dari Halim Presiden Soekarno mengeluarkan perintah dihentikannya tembak-menembak di antara seluruh pasukan serta ajakan menunggu penyelesaian politik oleh Presiden. Perintah tersebut oleh pasukan RPKAD tidak boleh disiarkan lewat RRI Jakarta. Ini merupakan permulaan pemberangusan terhadap Presiden Soekarno yang dilakukan oleh kekuasaan Jenderal Soeharto. Sejak jam 19.00 1 Oktober 1965 RRI terus-menerus menyiarkan pernyataan Jenderal Soeharto. Kini bukan saja pasukan Soeharto menguasai lapangan, tetapi juga bidang komunikasi. Sabotase ini berlanjut sampai dijatuhkannya Presiden Soekarno.

Sebagai diulas oleh Letkol Pnb Heru Atmodjo, jika G30S itu suatu gerakan militer yang serius, seharusnya dipimpin seorang jenderal seperti Brigjen Suparjo yang secara intelektual maupun pengalaman lapangan memadai. Tetapi justru dia tidak pernah dilibatkan dalam rapat persiapan. Dalam buku Jenderal Nasution (1988), apa yang biasa disebut “dokumen Suparjo,” suatu dokumen yang dipercaya sebagai ditulis oleh Brigjen Suparjo setelah gagalnya G30S, telah diulas secara singkat, antara lain sbb: (1) Tidak ada diskusi maupun rancangan Syam dan kawan-kawan menghadapi kegagalan gerakan, semuanya beres, pasti menang; (2) Setelah gagal, mereka bingung, tidak ada perintah jelas, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa pun; (3) Pasukan tidak mendapat makanan, bahkan ada yang minta ke Kostrad. Pasukan meninggalkan RRI tanpa ada instruksi; (4) Rapat memutuskan menghentikan gerakan, masing-masing bubar, pulang, sambil menunggu situasi.

Perang dingin yang di Indonesia berpuncak pada tragedi 1965 tidak dapat dilepaskan dari peranan barisan dinas intelijen dalam dan luar negeri dengan operasi intelijennya yang saling bekerjasama, menusuk, menjegal, menipu, menyesatkan dan memerangi. Jika BC PKI setidaknya sebagian tugasnya menyerupai dinas intelijen, mereka ini jauh lebih asor dibandingkan dengan yang dimiliki AD misalnya. Syam Kamaruzaman biasanya disebut sebagai agen ganda, dari kesaksiannya di Mahmillub kita ketahui dengan cekatan ia sepenuhnya mengabdi pada militer di bawah Jenderal Soeharto. Seorang spion AD bernama Sriharto Harjomiguno yang sudah bertahun-tahun berada di tubuh PKI, dalam jangka tertentu menjadi pengawal DN Aidit selama di Jawa Tengah sesudah 2 Oktober 1965 tanpa bisa diendus. Belum lagi kita bicara tentang kecanggihan CIA atau dan KGB.

Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.

Apa pun yang terjadi, dari berbagai kelemahan dan kesalahan mendasar G30S yang merugikan dan bahkan menyabot diri sendiri, maka hanya ada satu kesimpulan bahwa G30S memang dirancang untuk gagal sebagai tangga panjatan sang dalang sebenarnya.

Pesawat kepresidenan Jetstar yang membawa Presiden Soekarno dan 80 anggota rombongan, termasuk Ketua CC (Committee Central) PKI Dipo Nusantara (D.N.) Aidit, meninggalkan tanah air menuju Aljazair guna menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) II. Pesawat transit di Kairo, Mesir, 26 Juni 1965.

Mendadak ada kabar bahwa Presiden Aljazair Ben Bella dikudeta. KAA pun ditunda hingga 5 November 1965. Bung Karno kemudian memutuskan pulang ke tanah air. Sedangkan rombongan kecil yang dipimpin Aidit melawat ke Peking (Beijing), China. Salah satu di antara mereka adalah Nyono.

Setibanya di tanah air, penyakit ginjal Bung Karno kambuh lagi. Tim dokter China yang merawat Bung Karno sejak 1960 mendiagnosis bahwa kali ini penyakitnya makin gawat. Bahkan, tim dokter China itu memperkirakan, sewaktu-waktu jika penyakit Bung Karno kambuh lagi nyawanya tak tertolong. Keadaan ini makin mematangkan rencana PKI mengambil alih kekuasaan dari tangan Bung Karno. Yakni, dengan menyingkirkan rival utamanya lebih dahulu: para jenderal TNI AD.

Gawatnya kesehatan Bung Karno itu terlihat dari perintah pemanggilan mendadak Aidit dan Nyono oleh sang pemimpin besar revolusi itu lewat Menlu Soebandrio. Keduanya diminta segera pulang ke tanah air. Lewat kawat, Aidit menjawab akan pulang pada 3 Agustus 1965.

Pada 4 Agustus 1965, kesehatan Bung Karno terus memburuk. Dia tiba-tiba muntah-muntah sebanyak 11 kali, ditambah hilang kesadaran empat kali. Dokter kepresidenan, Dr Mahar Mardjono, pun mendadak dipanggil ke kamar Bung Karno di Istana Negara. Saat itu sudah ada tim dokter China.

Belakangan, diduga keras ternyata diagnosis dokter China tadi berkaitan erat dengan rencana PKI mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Rencana ini muncul setelah Aidit bertemu Mao Tze Tung (Mao Zedong) di China. Sebab, posisi Bung Karno sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi Angkatan Bersenjata sangat menentukan arah politik Indonesia.

Kalau sampai Bung Karno mangkat, sudah bisa ditebak akan terjadi perebutan kekuasaan antara PKI dan TNI-AD. Saling mendahului dan saling jegal antara kekuatan saat itu sangat mewarnai politik Indonesia 1965. "Ternyata diagnosis tim dokter China terbukti keliru. Sebab, Bung Karno baru meninggal tujuh tahun kemudian," ungkap Ketua LIPI Taufik Abdulah dalam bedah buku di Yayasan Obor yang menerbitkan buku karya Miroslav kemarin.

Dugaan lain yang menguatkan bahwa PKI akan mengambil alih kekuasaan di Indonesia terekam dalam pembicaraan Ketua Partai Komunis China Mao Tze Tung dan Ketua CC PKI DP Aidit yang menemuinya Zhongnanghai, sebuah perkampungan dalam dinding-dinding kota terlarang di China.

"Kamu harus mengambil tindakan cepat," kata Mao kepada Aidit. "Saya khawatir AD akan menjadi penghalang," keluh Aidit ragu-ragu. "Baiklah, lakukan apa yang saya nasihatkan kepadamu; habisi semua jenderal dan perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu," ungkap Mao berapi-api. "Itu berarti membunuh beratus-ratus perwira," tanya Aidit lagi. "Di Shensi Utara, saya membunuh lebih dari 20 ribu orang kader dalam sekali pukul saja," tukas Mao.

Setelah menemui Mao, Aidit disertai dua dokter China, Dr Wang Hsing Te dan Dr Tan Min Hsuen (salah satu di antaranya diyakini Miroslav sebagai perwira intelijen China) terbang ke Jakarta guna mendeteksi kesehatan Bung Karno. Pada 7 Agustus 1965, mereka menghadap Bung Karno di Istana Merdeka.

Esoknya, 8 Agustus 1965, Aidit kembali menemui Bung Karno di Istana Bogor untuk berbicara empat mata. Menurut Miroslav, saat bertemu secara pribadi dengan Bung Karno itulah, Aidit melaporkan hasil pembicaraannya dengan Mao Tze Tung. Misalnya, advis untuk menyingkirkan jenderal AD yang tidak loyal kepada presiden (baca dewan jenderal sebutan PKI bagi jenderal AD).

PKI sadar benar tidak mudah menyingkirkan para jenderal AD tanpa payung kekuasaan Soekarno. Kedua, membentuk Kabinet Gotong Royong dengan PKI sebagai pemegang kendali (dengan memasukkan para kadernya). Ketiga, setelah semua misi itu sukses, diam-diam PKI menyiapkan strategi untuk menyingkirkan Bung Karno secara halus. Caranya, China menawari Bung Karno untuk istirahat panjang di sebuah vila dekat Danau Angsa, China, guna mengobati penyakitnya.

"Itu sebenarnya cara licik Aidit dan Mao untuk menyingkirkan Bung Karno dari kekuasaannya setelah melapangkan jalan PKI mengambil alih kekuasaan," ungkap Miroslav. Cara itu pernah diterapkan Mao kepada Raja Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk. Setelah China berhasil mengomuniskan Kamboja lewat Pol Pot. Giliran Jenderal Lon Nol mengudeta Sihanouk saat berkunjung ke Moskow. Saat Kremlin (baca Uni Sovyet) menolak memberikan suaka kepada Sihanouk, China dengan senang hati menawarkan tempat tinggal dan perawatan yang wah bagi Sihanouk. "Istrinya, Princess Monica, sangat menikmati pemberian China tadi," tambah Miroslav.

Berdasar hasil rekonstruksi kejadian yang dibuat Miroslav, Bung Karno tampaknya sejalan dengan rencana Mao. Terbukti, lanjut Miroslav, Bung Karno memanggil Brigjen Subur, Komandan Resimen Tjakrabhirawa, dan Letkol Untung ke kamar tidurnya untuk bertanya pada mereka.

"Apakah dia (Untung) cukup berani menangkap para jenderal yang tidak loyal kepada presiden dan menentang kebijakannya?" tanya Bung Karno. "Saya akan melakukan kalau diperintahkan," jawab Untung saat itu.

Ketua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Taufik Abdullah mengatakan, kevalidan sejarah seperti itu memang perlu diuji. Tapi, boleh jadi dugaan keras Miroslav tersebut ada benarnya.

Taufik membuat tamsil, ada sepasang pengantin masuk rumah. Saat keluar wajahnya terlihat lusuh. Orang bisa menduga, pasangan pengantin itu baru melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri. Tapi, tidak ada yang tahu persis. "Bisa juga wajah yang tampak loyo itu disebabkan mereka habis membersihkan rumah," ujar Taufik.

"Miroslav pantas menduga kuat bahwa pembicaraan Aidit dan Bung Karno di kamar tidurnya adalah soal isi pertemuan Aidit dengan Mao," tambah Taufik. Mao Tze Tung, lanjut Miroslav, semula ingin menggandeng Bung Karno untuk menancapkan kekuasaan PKI di Indonesia. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya, Bung Karno dinilai bukan sosok pemimpin yang cocok. Dia dianggap terlalu sembrono dan pembawaannya meledak-ledak. Tapi, Mao tetap membutuhkan Bung Karno untuk mengantarkan PKI berkuasa di Indonesia.

Soal pembawaan yang meledak-ledak tersebut pernah dilaporkan Menlu China Marsekal Chen Yi saat menemui Bung Karno, 3 Desember 1964. Ketika itu, Bung Karno menuntut China agar membagi teknologi nuklirnya dengan Indonesia. Bung Karno juga mendesak uji nuklir dilakukan di wilayah Indonesia. Tujuannya, memberi dampak psikologis kepada kawan dan lawan Indonesia. Tapi, Chen Yi menolak karena itu terlalu berbahaya. Bung Karno kontan naik pitam. "Sambil menggebrak meja, Bung Karno berdiri menudingkan telunjuknya ke arah Chen Yi," ungkap Miroslav.

Akibat keragu-raguan Mao Tze Tung tersebut, akhirnya China menunda pengiriman 100 ribu pucuk senjata untuk angkatan kelima (baca buruh dan tani) seperti dijanjikan sebelumnya. Sebagai gantinya, Mao hanya mengirimkan 30 ribu pucuk senjata lewat beberapa kapal guna menghadapi jenderal AD yang reaksioner. Tapi, itu tidak gratis. Sebagai imbalannya, Mao minta presiden melapangkan jalan PKI menguasai Indonesia. "Soal perjanjian rahasia itu terungkap dalam surat Aidit 10 November 1965 yang dikirim ke Bung Karno," terang Miroslav.

Jaringan intelijen yang dibangun PKI terus mengintesifkan pembicaraan dengan penguasa komunis China guna mempersiapkan pengambialihan kekuasaan di Indonesia. Kontak Aidit-Mao maupun Soebandrio-Chen Yi makin intensif menjelang pengambilalihan yang ternyata gagal itu.

Akhirnya, sejarah pun mencatat: pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI-AD oleh pasukan Cakrabhirawa. Mereka lalu dibawa ke Lubang Buaya untuk dimakamkan.

Tapi, itu sekaligus pukulan balik bagi PKI. Pangkostrad Mayjen Soeharto berhasil mengorganisasikan berbagai kekuatan anti-PKI untuk memukul balik lawannya. Soeharto akhirnya menjadi penguasa Orba selama 30 tahun lebih[9].

Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F. Wertheim dan Coen Hotsapel, teori ini menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin AD hidup bermewah-mewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama baik AD. Pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.

Gerakan 30 September merupakan Pertemuan antara Kepentingan Inggris-AS, menurut teori ini G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas dari komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain.

Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno: “unsur-unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.



[1]Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi. Sejarah Indonesia (Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018), hlm. 81-88.

[2]Ibid, hlm.89-91.

[3]Ibid, hlm.92-95.

[4]Ibid, hlm.96-98.

[5]Ibid, hlm.99-101.

[6]Bagian ini merupakan Interpretasi Penulis; diambil dari Wikipedia bahasa Indonesia pada halaman https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September   

[7]Periksa bagian ini di : https://news.detik.com/berita/d-480303/bung-karno-dalang-g30s-pki

[8]Sumber ini diambil sebagian dari : “Artikel ini dari Pacific Negeri 58, Summer 1985, halaman 239-264. Peter Dale Scott is a professor of English at the University of California in Berkeley, and a member of the advisory board at Public Information Research. Peter Dale Scott adalah seorang profesor bahasa Inggris di University of California di Berkeley, dan anggota dewan penasihat di Riset Informasi Publik”.

[9]Ilmuwan Ceko Bongkar Konspirasi di Balik Kudeta PKI 1965; lihat di : http://jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=5663